LITERATUR
POKOK :
•Drs.
P.A.F. Lamintang, SH “Dasar-Dasar Hukum Pidana”, Citra Aditya Bakti, Bandung
•Prof.
Muljatno, SH “Asas-Asas Hukum Pidana”
•Dr.
Andi Hamzah, SH, “Asas-Asas Hukum Pidana”
-
Drs. Adam Chazami SH, “Pelajaran Hukum Pidana 1”
•Drs.
Adam Chazami, “Pelajaran Hukum Pidana 2”.
•
Prof. Dr.Wirjono. P, SH, “Asas-Asas Hukum Pidana”
•D.
Scaffmester, dkk “ Hukum Pidana”
•Prof.
Dr. Barda Nawawi, SH “Kapita Silekta Hukum Pidana”
•R.
Soenarto Soeridobroto, “ KUHP dan KUHAP beserta Yurisprudensi MA”
•R.
Soesilo, “KUHP dan penjelasannya”
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Istilah dan Pengertian
Pidana
berasal kata straf (Belanda), yang adakalanya
disebut dengan istilah hukuman. Istilah pidana lebih tepat dari istilah hukuman
karena hukum sudah lazim merupakan terjemahan dari recht. Dapat dikatakan istilah
pidana dalam arti sempit adalah berkaitan dengan hukum pidana
Pidana
lebih tepat didefinisikan sebagai suatu penderitaan yang sengaja
dijatuhkan/diberikan oleh negara pada seseorang atau beberapa orang sebagai
akibat hukum (sanksi) baginya atas perbuatannya yang telah melanggar larangan
hukum pidana. Secara khusus larangan dalam hukum pidana ini disebut sebagai
tindak pidana (strafbaar feit).
Selanjutnya
istilah hukum pidana dalam bahasa Belanda adalah Strafrecht sedangkan dalam bahasa
Inggris adalah Criminal Law.
1.
SIMONS, hukum pidana adalah
keseluruhan larangan-larangan dan keharusan yang pelanggaran terhadapnya
dikaitkan dengan suatu nestapa (pidana/hukuman) oleh negara, keseluruhan aturan
tentang syarat, cara menjatuhkan dan menjalankan pidana tersebut.
2.
MOELJATNO, hukum pidana adalah
aturan yang menentukan : a) Perbuatan yang tidak boleh dilakukan, dilarang,
serta ancaman sanksi bagi yang melanggarnya, b) Kapan dan dalam hal apa kepada
pelanggar dapat dijatuhi pidana, c) Cara pengenaan pidana kepada pelanggar
tesebut dilaksanakan
3.
Wirjono Prodjodikoro, hukum pidana adalah
peraturan hukum mengenai pidana. Kata “pidana” berarti hal yang
“dipidanakan” yaitu oleh instansi yang berkuasa dilimpahkan kepada seorang
oknum sebagai hal yang tidak enak dirasakannya dan juga hal yang tidak
sehari-hari dilimpahkan.
4.
Wirjono Prodjodikoro, hukum pidana adalah
peraturan hukum mengenai pidana. Kata “pidana” berarti hal yang “dipidanakan”
yaitu oleh instansi yang berkuasa dilimpahkan kepada seorang oknum sebagai hal
yang tidak enak dirasakannya dan juga hal yang tidak sehari-hari dilimpahkan.
5.
WLG. LEMAIRE, hukum pidana itu
terdiri dari norma-norma yang berisi keharusan-keharusan dan larangan-larangan
yang (oleh pembentuk UU) telah dikaitkan dengan suatu sanksi berupa hukuman
yakni suatu penderitaan yang bersifat khusus. Dengan demikian dapat juga
dikatakan bahwa hukum pidana itu merupakan suatu sistem norma yang menentukan
terhadap tindakan-tindakan yang mana (hal melakukan sesuatu atau tidak
melakukan sesuatu dimana terdapat suatu keharusan untuk melakukan sesuatu) dan
dalam keadaan-keadaan bagaimana hukuman itu dapat dijatuhkan serta hukuman yang
bagaimana yang dapat dijatuhkan bagi tindakan-tindakan tersebut. (pengertian
ini nampaknya dalam arti hukum pidana materil).
6.
WFC. HATTUM, hukum pidana (positif)
adalah suatu keseluruhan dari asas-asas dan peraturan-peraturan yang diikuti
oleh negara atau suatu masyarakat hukum umum lainnya, dimana mereka itu sebagai
pemelihara dari ketertiban hukum umum telah melarang dilakukannya
tindakan-tindakan yang bersifat melanggar hukum dan telah mengaitkan
pelanggaran terhadap peaturan-peraturannya denagan suatu penderitaan yang
bersifat khusus berupa hukuman.
7.
WPJ. POMPE, hukum pidana adalah
hukum pidana itu sama halnya dengan hukum tata negara, hukum perdata dan
lain-lain bagian dari hukum, biasanya diartikan sebagai suatu keseluruhan dari
peraturan-peraturan yang sedikit banyak bersifat umum yang abstrahir dari
keadaan-keadaan yang bersifat konkret.
8.
KANSIL, hukum pidana adalah
hukum yang mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan
terhadap kepentingan umum, perbuatan mana diancam dengan hukuman yang merupakan
suatu penderitaan atau siksaan.
9.
ADAMI CHAZAWI, dilihat dari garis
besarnya, dengan berpijak pada kodifikasi sebagai sumber utama atau sumber
pokok hukum pidana, hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik yang
memuat/berisi ketentuan-ketentuan tentang :
·
Aturan-aturan hukum pidana dan (yang
dikaitkan/berhubungan denagan) larangan melakukan perbuatan-perbuatan
(aktif/positif) maupun pasif/negatif) tertentu yang diserti dengan ancaman
sanksi berupa pidana (straf) bagi yang melanggar larangan itu.
·
Syarat-syarat tertentu (kapankah) yang
harus dipenuhi/harus ada bagi si pelanggar untuk dapat dijatuhkanya sanksi
pidana yang diancamkan pada larangan perbuatan yang dilanggarnya.
·
Tindakan dan upaya-upaya yang boleh atau
harus dilakukan negara melalui alat-alat perlengkapannya (misalnya polisi,
jaksa, hakim), terhadap yang disangka dan di dakwa sebagai pelanggar hukum
pidana dalam rangka usaha negara menentukan, menjatuhkan dan melaksanakan
sanksi pidana terhadap dirinya, serta tindakan dan upaya-upaya yang boleh dan
harus dilakukan oleh tersangka/terdakwa pelanggar hukum tersebut dalam usaha
melindungi dan mempertahankan hak-haknya dari tindakan negara dalam upaya
negara menegakkan hukum pidana tersebut.
Berpijak
dalam garis besarnya, dengan berpijak pada kodifikasi sebagai sumber utama atau
sumber pokok hukum pidan, hukum pidana merupakan bagi dari hukum publik yang
memuat/berisi ketentuan-ketentuan tentang :
1.
Aturan umum hukum pidana dan (yang
dikaitkan/berhubungan dengan) larangan melakukan perbuatan-perbuatan
(aktif/posiitif) maupun pasf/negatif) tertentu yang disertai denagan ancaman
sanksi pidana (straf) bagi yang melanggar larangan itu.
2.
Syarat-syarat tertentu (kapankah) yang
harus dipenuhi/harus ada bagi si pelanggar untuk dapat dijatuhkannya sanksi
pidana yang diancamkan pada larangan perbuatan yang dilanggarnya.
3.
Tindakan dan upaya-upaya yang boleh atau
harus dilakukan negara melalui alat-alat perlengkapannya (misalnya polisi,
jaksa, hakim), terhadap yang disangka dan didakwa sebagai pelanggar hukum pidana
dalam rangka usaha negara menentukan, menjatuhkan dan melaksanakan sanksi
pidana terhadap dirinya, serta tindakan dan upaya-upaya yang boleh dan harus
dilakukan oleh tersangka/terdakwa pelanggar hukum tersebut dalam usaha
melindungi dan mempertahankan hak-haknya dari tindakan negara dalam upaya
negara menegakkan hukum pidana tersebut
B.
Tujuan Hukum Pidana
Ada
dua macam :
1.
Untuk menakut-nakuti setiap orang agar
mereka tidak melakukan perbuatan pidana(fungsi preventif)
2.
Untuk mendidik orang yang telah melakukan
perbuatan yang tergolong perbuatan pidana agar mereka menjadi orang yang baik
dan dapat diterima kembali dalam masyarakat (fungsi
represif).
Jadi
dapat disimpulkan tujuan hukum pidana adalah untuk melindungi masyarakat.
Menurut
para ahli tujuan hukum pidana adalah :
1.
Memenuhi rasa keadilan (WIRJONO
PRODJODIKORO)
2.
Melindungi masyarakat (social defence)
(TIRTA AMIDJAJA)
3.
Melindungi kepentingan individu (HAM) dan
kepentingan masyarakat dengan negara ( (KANTER DAN SIANTURI)
4.
Menyelesaikan konflik (BARDA .N)
Tujuan
Pidana (Menurut literatur Inggris R3D) :
1.
Reformation, yaitu memperbaiki atau
merehabilitasi penjahat menjadi orang baik dan berguna bagi masyarakat. Namun
ini tidak menjamin karena masih banyak juga residivis.
2.
Restraint, yaitu mengasingkan pelanggar
dari masyarakat sehingga timbul rasa aman masyarakat
3.
Retribution, yaitu pembalasan terhadap
pelanggar karena telah melakukan kejahatan
4.
Deterrence, yaitu menjera atau mencegah
sehingga baik terdakwa sebagai individual maupun orang lain yang potensi
menjadi penjahat akan jera atau takut untuk melakukankejahatan, melihat pidana
yang dijatuhkan kepada terdakwa.
C.
Fungsi Hukum Pidana
Sebagai
hukum publik hukum pidana memiliki fungsi sebagai berikut :
1.
Fungsi melindungi kepentingan hukum dari
perbuatan yang menyerang atau memperkosanya.
Kepentingan
hukum (rechtsbelang) adalah segala kepentingan yang diperlukan dalam berbagai
segi kehidupan manusia baik sebagai pribadi, anggot masyarakat, maupun anggota
suatu negara, yang wajib dijaga dan dipertahankan agar tidak
dilanggar/diperkosa oleh perbuatan-perbuatan manusia. Semua ini ditujukan untuk
terlaksana dan terjaminnya ketertiban di dalam segala bidang kehidupan.
Di
dalam doktrin hukum pidana Jerman, kepentingan hukum (rechtsgut) itu meliputi
(Satochid Kartanegara) :
1.
Hak-hak (rechten)
2.
Hubungan hukum (rechtsbetrekking)
3.
Keadaan hukum (rechtstoestand)
4.
Bangunan masyarakat (sociale instellingen)
Kepentingan
hukum yang wajib dilindungi itu ada tiga macam yaitu :
1.
Kepentingan hukum perorangan (individuale
belangen) misalnya kepentingan hukum terhadap hak hidup (nyawa), kepentingan
hukum atas tubuh, kepentingan hukum akan hak milik benda, kepentingan hukum
terhadap harga diri dan nama baik, kepentingan hukum terhadap rasa susila, dsb.
2.
Kepentingan hukum masyarakat (sociale of
maatschapppelijke belangen), misalnya kepentingan hukum terhadap keamanan dan
ketertiban umum, ketertiban berlalu lintas di jalan raya, dsb.
3.
Kepentingan hukum negara (staatsbelangen),
misalnya kepentingan hukum terhadap keamanan dan keselamatan negara,
kepentingan hukum terhadap negara-negara sahabat, kepentingan hukum terhadap
martabat kepala negara dan wakilnya, dsb.
Ketiga
kepentingan hukum diatas saling berkait dan tidak bisa dipisahkan. Contoh
kepetingan hukum yang diatur dalam hukum pidana materil (KUHP) larangan mencuri
(pasal 362), larangan menghilangkan nyawa (pasal 338). Pasal 363 melindungi dan
mempertahankan kepentingan hukum orang atas hak milik kebendaan pribadi dan
pasal 338 adalah melindungi dan mempertahankan kepentingan hukum terhadap hak
individu/nyawa orang. Untuk melindung kepentingan hukum diatas adalah melalui
sanksi pidana/straf (hukuman penjara). Misalnya pasal 362 KUHP dapat diancam
hukuman penjara maksimum 5 tahun dan pasal 338 dapat diancam hukuman
penjara maksimum 15 tahun, dsb.
1.
Memberi dasar legitimasi bagi negara dalam
rangka negara menjalankan fungsi mempertahankan kepentingan hukum yang
dilindungi.
Fungsi
hukum pidana yang dimaksud disini adalah adalah tiada lain memberi dasar
legitimasi bagi negara agar negara dapat menjalankan fungsi menegakkan dan
melindungi kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum pidana tadi dengan
sebaik-baiknya. Fungsi ini terutama terdapat dalam hukum acara pidana, yang
telah dikodifikasikan dengan apa yang disebut Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) yakni UU No. 8 tahun 1981. Dalam hukum acara pidana telah diatur
sedemikian rupa tentang apa yang dapat dilakukan negara dan bagaimana cara
negara mempertahankan kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum pidana.
Misalnya bagaimana cara negara melakukan tindakan-tindakan hukum terhadap
terjadinya tindak pidana seperti melakukan penangkapan, penahanan, penuntutan,
pemeriksaan, vonis, dll. Semua tindakan negara diatas tentu berakibat tidak
menyenangkan bagi siapa saja. Namun atas dasar kepentingan hukum dan negara
tindakan negara tersebut dibenarkan, melalui prosedur KUHAP diatas.
1.
Fungsi mengatur dan membatasi kekuasaan
negara dalam rangka negara menjalankan fungsi mempertahankan kepentingan hukum
yang dilindungi.
Sebagaimana
diketahui bahwa fungsi hukum pidana yang kedua diatas adalah hukum pidana telah
memberikan hak dan kekuasaan yang sangat besar pada negara agar dapat
menjalankan fungsi mempertahankan kepentingan hukum yang dilindungi dengan
sebaik-baiknya. Namun demikian atas kekuasaan negara diatas harus dibatasi.
Walaupun pada dasarnya adanya hukum pidana untuk melindungi kepentingan hukum
yang dlindungi. Namun tentunya pembatasan kekuasaan itu penting agar negara
tidak melakukan sewenang-wenang kepada masyarakat dan pribadi manusia.
Pengaturan hak dan kewajiban negara dengan sebaik-baiknya dalam rangka negara
menjalankan fungsi mempertahankan kepentingan hukum yang dilindungi yang secara
umum dapat disebut mempertahankan dan menyelenggarakan ketertiban hukum
masyarakat itu, menjadi wajib. Adanya KUHP dan KUHAP sebagai hukum pidana
materi dan formil dalam rangka mempertahankan kepentingan hukum masyarakat yang
dilindungi pada sisi sebagai alat untuk melakukan tindakan hukum oleh negara
apabila terjadi pelanggaran hukum pidana, pada sisi lain sebagai alat
pembatasan negara dalam setiap melakukan tindakan hukum. Misalnya jika
seseorang membunuh (pasal 338 KUHP) negara tidak boleh menghukum melebihi
ancaman maksimum 15 tahun. Begitu juga ketika negara menahan seseorang ada
batas masa penahanan misalnya penyidik hanya selama 20 hari. Jika ketentuan
diatas dilanggar oleh negara maka akan terjadi kesewenangan. Dengan demikian
masyarakat sendiri dirugikan. Jika akibat suatu tindakan negara justru
merugikan masyarakat, maka tujuan dan fungsi hukum pidana tersebut tidak
tercapai. Tujuan hukum untuk kebenaran dan keadilan hanya semboyan saja.
D.
Sumber Hukum Pidana
1.
Kitab Undang-Undang Pidana (KUHP) dan
penjelasan = MVT yang terdiri dari buku I tentang aturan umum, buku II tentang
kejahatan dan buku III tentang pelanggaran
2.
Undang-undang di luar Kitab Undang-undang
Hukum Pidana
·
Undang-undang Tindak Pidana Korupsi
·
Undang-undang Tindak Pidana Terorisme (UU
No. 15 tahun 2003)
·
Undang-undang Pidana Pencucian Uang (UU
No. 15 tahun 2002)
·
Undang-undang Tindak Pidana Ekonomi (UU
DRT No. 7 tahun 1955 dan UU No. 8 tahun 1958, PP No. 1 tahun 1960)
·
Undang-undang Narkotika dan Undang-undang
Psikotropika ( UU No. 22 tahun 1997 tentang Narkotika dan UU No. 5 tahun
1997 tentang Psikotropika
3.
Hukum Adat (Pasal 5 ayat 3 (b) UU Darurat No. 1 tahun 1951 yaitu berbunyi :
“Hukum
materiil sipil dan untuk sementara waktu pun hukum materiil pidana sipil yang
sampai kini berlaku untuk kaula-kaula daerah Swapraja dan orangorang yang
dahulu diadili oleh Pengadilan Adat, ada tetap berlaku untuk kaula-kaula dan
orang itu, dengan pengertian :
·
bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum
yang hidup harus dianggap perbuatan pidana, akan tetapi tiada bandingnya dalam
Kitab Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang tidak lebih
dari tiga bulan penjara dan/atau denda lima ratus rupiah, yaitu sebagai hukuman
pengganti bilamana hukuman adat yang dijatuhkan tidak diikuti oleh pihak
terhukum dan penggantian yang dimaksud dianggap sepadan oleh hakim dengan besar
kesalahan yang terhukum,
·
bahwa, bilamana hukuman adat yang
dijatuhkan itu menurut fikiran hakim melampaui padanya dengan hukuman kurungan
atau denda yang dimaksud di atas, maka atas kesalahan terdakwa dapat dikenakan
hukumannya pengganti setinggi 10 tahun penjara, dengan pengertian bahwa hukuman
adat yang menurut faham hakim tidak selaras lagi dengan zaman senantiasa mesti
diganti seperti tersebut di atas, dan
·
bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum
yang hidup harus dianggap perbuatan pidana dan yang ada bandingnya dalam Kitab
Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang sama dengan
hukuman bandingnya yang paling mirip kepada perbuatan pidana itu”.
E.
Aliran-aliran dalam Hukum Pidana
Salah
satu masalah pokok hukum pidana adalah mengenai konsep tujuan pemidanaan dan
untuk mengetahui secara komprehensif mengenai tujuan pemidanaan ini harus dikaitkan
dengan aliran-aliran dalam hukum pidana. Aliran-aliran tersebut adalah aliran
klasik, aliran modern (aliran positif) dan aliran neo klasik (sosiologis).
Perbedaaan aliran klasik, modern dan neo klasik atas karakteristik
masing-masing erat sekali hubungannya dengan keadaan pada zaman pertumbuhan
aliran-aliran tersebut.
1.
Aliran klasik
Aliran
yang muncul pada abad ke-18 merupakan respon dari ancietn
regime di
Perancis dan Inggris yang banyak menimbulkan ketidakpastian hukum,
ketidaksamaan hukum dan ketidakadilan. Aliran ini berfaham indeterminisme
mengenai kebebasan kehendak (free will) manusia yang
menekankan pada perbuatan pelaku kejahatan sehingga dikehendakilah hukum pidana
perbuatan (daad-strefrecht). Aliran klasik pada
prinsipnya hanya menganutsingle track system berupa sanksi tunggal,
yaitu sanksi pidana. Aliran ini juga bersifat retributif dan represif terhadap
tindak pidana karena tema aliran klasik ini, sebagaimana dinyatakan oleh
Beccarian adalah doktrin pidana harus sesuai dengan kejahatan. Sebagai
konsekuensinya, hukum harus dirumuskan dengan jelas dan tidak memberikan
kemungkinan bagi hakim untuk melakukan penafsiran. Hakim hanya merupakan alat
undang-undang yang hanya menentukan salah atau tidaknya seseorang dan kemudian
menentukan pidana. Undang-undang menjadi kaku dan terstruktur. Aliran klasik
ini mempunyai karakteristik sebagai berikut :
1.
Definisi hukum dari kejahatan
2.
Pidana harus sesuai dengan kejahatannya
3.
Doktrin kebebasan berkehendak
4.
Pidana mati untuk beberapa tindak pidana
5.
Tidak ada riset empiris; dan
6.
Pidana yang ditentukan secara pasti.
Tokoh
dalam aliran klasik ini adalah Cesare Beccaria dan Jeremi Bentham. Beccaria
meyakini konsep kontrak sosial dimana individu menyerahkan kebebasan atau
kemerdekaannya secukupnya kepada negara dan oleh karenanya hukum harusnya hanya
ada untuk melindungi dan mempertahankan keseluruhan kemerdekaan yang
dikorbankan terhadap persamaan kemerdekaan yang dilakukan oleh orang lain.
Prinsip dasar yang digunakan sebagai pedoman adalah kebahagiaan yang terbesar
untuk orang sebanyak-banyaknya. Sementara Jeremy Bentham melihat suatu prinsip
baru yaitu utilitarian yang menyatakan bahwa
suatu perbuatan tidak dinilai dengan sistem yang irrasional yang absolut,
tetapi melalui prinsip-prinsip yang dapat diukur. Bentham menyatakan bahwa
hukum pidana jangan dijadikan sarana pembalasan tetapi untuk mencegah
kejahatan.
1.
Aliran Modern atau aliran positif
Aliran
ini muncul pada abad ke-19 yang bertitik tolak pada aliran determinisme yang
menggantikan doktrin kebebasan berkehendak (the doctrine of free
will).
Manusia dipandang tidak mempunyai kebebasan berkehendak, tetapi dipengaruhi
oleh watak lingkungannya, sehingga dia tidak dapat dipersalahkan atau
dipertanggungjawabkan dan dipidana. Aliran ini menolak pandangan pembalasan
berdasarkan kesalahan yang subyektif. Aliran ini menghendaki adanya
individualisasi pidana yang bertujuan untuk mengadakan resosialisasi pelaku.
Aliran ini menyatakan bahwa sistem hukum pidana, tindak pidana sebagai
perbuatan yang diancam pidana oleh undang-undang, penilaian hakim yang
didasarkan pada konteks hukum yang murni atau sanksi pidana itu sendiri harus
tetap dipertahankan. Hanya saja dalam menggunakan hukum pidana, aliran ini
menolak penggunaan fiksi-fiksi yuridis dan teknik-teknik yuridis yang terlepas
dari kenyataan sosial. Marc Ancel, salah satu tokoh aliran modern menyatakan
bahwa kejahatan merupakan masalah kemanusiaan dan masalah sosial yang tidak
mudah begitu saja dimasukkan ke dalam perumusan undang-undang.
Ciri-ciri
aliran modern adalah sebagai berikut :
1.
Menolak definisi hukum dari kejahatan
2.
Pidana harus sesuai dengan pelaku tindak
pidana
3.
Doktrin determinisme
4.
Penghapusan pidana mati
5.
Riset empiris; dan
6.
Pidana yang tidak ditentukan secara pasti.
Marc
Ancel mempelopori gerakan perlindungan masyarakat baru (new
social defence)
yang bertujuan mengintegrasikan ide-ide atau konsepsi perlindungan masyarakat
ke dalam konsepsi baru hukum pidana. Tokoh-tokoh lain yang merupakan pelopor
aliran modern adalah Cesare Lambroso, Enrico Ferri dan Raffaele Garofalo.
Lambroso menganjurkan bahwa pidana tidak ditetapkan secara pasti oleh
pengadilan (the indeterminate sentence), pidana mati merupakan
seleksi terakhir yang bilamana penjara pembuangan dan kerja keras, penjahat
tetap mengulangi kejahatan yang mengancam masyarakat dan korban kejahatan harus
diberi kompensasi atas kerugian yang diakibatkan oleh penjahat dan ia memberi
tekanan yang besar pada pencegahan kejahatan. Gorofalo mengusulkan konsep
kejahatan natural (natural crime) yang merupakan
pengertian paling jelas untuk menggambarkan perbuatan-perbuatan yang oleh
masyarakat beradab diakui sebagai kejahatan dan ditekan melalui sarana berupa
pidana. Ferri menyatakan bahwa seseorang memiliki kecenderungan bawaan menuju
kejahatan tetapi bilamana ia mempunyai lingkungan yang baik maka ia akan hidup
terus tanpa melanggar pidana ataupun hukum moral, kejahatan terutama dihasilkan
oleh tipe masyarakat darimana kejahatan itu datang, oleh karena itu pembuat
undang-undang harus selalu memperhitungkan faktor-faktor ekonomi, moral,
administrasi dan politik di dalam tugasnya sehari-hari, dan kejahatan hanya
dapat diatasi dengan mengadakan perubahan-perubahan di masyarakat.
1.
Aliran neo klasik (sosiologis)
Aliran
ini muncul pada abad ke-19 mempunyai basis yang sama dengan aliran klasik,
yakni kepercayaan pada kebebasan berkehendak manusia. Aliran ini beranggapan
bahwa pidana yang dihasilkan oleh aliran klasik terlalu berat dan merusak
semangat kemanusiaan yang berkembang pada saat itu. Perbaikan dalam aliran neo
klasik ini didasarkan pada beberapa kebijakan peradilan dengan merumuskan
pidana minimum dan maksimum dan mengakui asas-asas tentang keadaan yang
meringankan (principle of extenuating circumtances). Perbaikan selanjutnya
adalah banyak kebijakan peradilan yang berdasarkan keadaaan-keadaan obyektif.
Aliran ini mulai mempertimbangkan kebutuhan adanya pembinaan individual dari
pelaku tindak pidana.
Karakteristik
aliran neo klasik adalah sebagai berikut :
1.
Modifikasi dari doktrin kebebasan
berkehendak, yang dapat dipengaruhi oleh patologi, ketidakmampuan, penyakit
jiwa dan keadaan-keadaan lain;
2.
Diterima berlakunya keadaan-keadaan yang
meringankan;
3.
Modifikasi dari doktrin pertanggungjawaban
untuk mengadakan peringatan pemidanaan, dengan kemungkinan adanya
pertanggungjawaban sebagian di dalam kasus-kasus tertentu, seperti penyakit
jiwa usia dan keadaan-keadaan lain yang dapat mempengaruhi pengetahuan dan
kehendak seseorang pada saat terjadinya kejahatan; dan;
4.
Masuknya kesaksian ahli di dalam acara
peradilan guna menentukan derajat pertanggungjawaban.
Determinisme dan Indeterminisme
·
Dualisme istilah ini berkisar pada
pesoalan, apakah seorang manusia pada hakikatnya adalah bebas dari pengaruh
(indeterminisme) atau justru selalu terpengaruh oleh kekuatan dari luar
(determinisme)
·
Kata “determiner” dalam bahasa Prancis
bahkan berarti “menentukan”
·
Determinisme adalah bahwa kekuatan
menentukan dari luar itu adalah termasuk tabiat atau watak dari seorang dan
alasan yg mendorong orang itu untuk pada akhirnya mempunyai kehendak tertentu
itu, dan kekuatan2 ini didorong pula oleh keadaan dalam masyarakat tempat orang
itu hidup. Jadi kehendak melakukan perbuatan pidana menurut determinisme
dikarenakan kehendak itu selalu ditentukan oleh kekuatan itu.
·
Sedangkan indeterminisme seseorang
melakukan suatu kejahatan, menurut faham indeterminisme dianggap mempunyai
kehendak untuk itu, mungkin tanpa dipengaruhi kekuatan2 luar tersebut diatas.
E.
Sejarah Hukum Pidana Indonesia
De Nederlander, die over zeen en oceanen
baan koos naar de koloniale gebieden, nam zijn eigenrecht mee (orang-orang Belanda yang
berada diseberang lautan dan samudera luas memiliki jalan untuk menetap di
tanah-tanah jajahannya membawa hukumannya sendiri untuk berlaku baginya).
Demikian
kalimat pertama yang dikatakan oleh Prof. Mr. J.E Jonkers dalam buku
karangannya Het Nederlandch-Indiche Strafstelsel yang diterbitkan pada tahun
1940
Maka,
pada zaman penjajahan Belanda di Indonesia sejak semula terdapat dualisme dalam
perundang-undangan. Ada peraturan-peraturan hukum tersendiri untuk orang-orang
Belanda dan orang-orang Eropa lainnya yang merupakan jiplakan apa adanya dari
hukum yang berlaku di Belanda dan ada peraturan-peraturan hukum tersendiri
untuk orang-orang Indonesia dan orang-orang Timur Asing (Cina, Arab, dan
India/Pakiskan).
Dualisme
ini mula-mula juga ada dalam hukum pidana. Untuk orang-orang Eropa, berlaku
suatu kitab undang-undang hukum pidana tersendiri, trmuat dalam Firman raja
Belanda tanggal 10 Februari 1866 No. 54 (staatblad 1866 No. 55) yang mulai
berlaku pada tanggal 1 januari 1867. Sedangkan untuk orang-orang Indonesia dan
orang-orang Timur Asing berlaku suatu kitab undang-undang hukum pidana
tersendiri termuat dalam Ordonantie tanggal 6 Mei 1872 (staatblad 1872 No. 85
yang mulai berlaku tanggal 1 Januari 1873.
Seperti
pada waktu itu di Belanda, kedua kitab undnag-undang hukum pidana di Indonesia
ini adalah jiplakan dari Code Penal dari Prancis yang oleh Kaisar Napoleon
dinyatakan berlaku di Belanda ketika negara itu ditaklukan oleh napoleon pada
permulaan abad 19.
Pada
tahun 1881 di Belanda dibentuk dan mulai berlaku pad atahun 1886 suatu kitab
undang-undang hukum pidana baru yang bersifat nasional dan yang sebagian besar
mencontoh kitab undang-undang hukum pidana di Jerman.
Sikap
semacam ini bagi Indonesia baru diturut denagan dibentuknya kitab undang-undang
hukum pidana baru (Wetboek van Strafrecht voor
Nederlandsch-Indie) dengan Firman raja Belanda tanggal 15 Oktober 1915,
mulai berlaku 1 Januari 1918, yang sekaligus menggantikan kedua kitab
undang-undang hukum pidana tersebut yang diberlakukan bagi semua penduduk di
Indonesia.
Dengan
demikian, diakhiri dualisme dari hukum pidana di Indonesia, mula-mula hanya
untuk daerah-daerah yang langsung dikuasai oleh pemerintah Hindia Belanda,
kemudian untuk seleuruh Indonesia.
KUHP
ini ketika mulai berlakunya disertai oleh “invoeringsverordening” berupa Firman raja
Belanda tanggal 4 Mei 1917 (Staatblad 1917 No. 497) yang mengatur secara
terinci peralihan dari hukum pidana lama kepada hukum pidana baru.
Tidak
kurang dari 277 undang-undang yang memuat peraturan hukum pidana di laur kedua
kitab undnag-undang hukum pidana, ditetapkan satu peratu, sampai dimana
peraturan-peraturan itu dipertahankan, dihapuskan atau diubah.
Keadaan
hukum pidana ini dilanjutkan pada zaman pendudukan Jepang dan pada permulaan
kemerdekaan Indonesia, berdasar dari aturan-aturan peralihan, baik dari
pemerintah Jepang maupun dari Undang-undang Dasar RI 1945 pasal II dari aturan
peralihan yang bebrunyi :
“Segala
badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum
diadakan yang baru menurut Undnag-Undang Dasar ini”.
Dengan
Undang-undang Nomor 1 tahun 1946 tanggal 26 Februari 1946, termuat dalam Berita
Republik Indonesia II Nomor 9 diadakan penegasan tentang hukum pidana yang
berlaku di Republik Indonesia., disebutkan :
“Dengan
menyimpang seperlunya dari peraturan Presiden Republik Indonesia tertanggal 10
Oktober 1945 Nomor 2.
Peraturan
tersebut mengandung dua pasal berikut :
·
Pasal 1 : Segala badang negara dan
peraturan-peraturan yang ada sampai berdirinya negara Republik Indonesia pada tanggal
17 Agustus 1945, slama belum diadakan yang baru menurut UUD, masih berlaku,
asal saja tidak bertentangan dengan UU tersebut.
·
Pasal 2 : Peraturan ini mulai berlaku
tanggal 17 Agustus 1945.
Isi
peraturan ini hampir sama dengan pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 tersbeut
diatas. Perbedaannya adalah bahwa kini disebutkan tanggal 17 Agustus 1945
sebagai tanggal pembatasan dan bahwa ditentukan peraturan-peraturan yang dulu
itu dianggap tidak berlakuapabila bertentangan dengan UUD.
Ketentuan
yang terakhir ini sering dilupakan oleh mereka yang cenderung menganggap semua
peraturan dari zaman penjajahan Belanda yang tidak secara tegas dicabut atau
diganti tetap berlaku tanpa kekecualiaan. Padahal diantara peraturan-peraturan
itu ada beberapa yang jelas hanya layak dalam hubungan-hubungan “kolonial”.
Penyimpangan
dari Peraturan Presiden 10 Oktober Nomor 2 oleh UU No. 1 tahun 1946 adalah apa
yang ditentukan dalam pasal I bahwa peraturan-peraturan hukum pidana yang
sekrang (26 Februari 1946) berlaku adalah peraturan-peraturan hukum pidana yang
ada pada tanggal 8 Maret 1942, saat pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada
Balatentara Jepang yang berganti berkuasa di Indonesia sampai dengan tanggal 17
Agustus 1945.
Dengan
demikian, ditegaskan pertama-tama bahwa semua peraturan hukum pidana yang
dikeluarkan oleh pemerintah Jepang dianggap tidak berlaku lagi
Ini
memang merupakan penyimpangan dari Peraturan Presiden No. 10 Oktober 1945 Nomr
2 yang menurut peraturan tersebut, semua peraturan yang ada pada tangal 17
Agustus 1945 tetap berlaku selama belum diganti dengan yang baru. Sedangkan
setahu saya, pada tanggal 26 Februari 1946 belum ada undang-undang Republik
Indonesia yang memuat peraturan hukum pidana.
Pasal
II Undang-undang Nomor 1 tahun 1946 mencabut semua peraturan hukum pidana yang
dikeluarkan oleh Panglima tertinggi balatentara Hindia Belanda dulu
(Verordeningen van het Militair Gezag).
Beberapa
waktu sebelum 8 maret 1942 wilayah Hindia Belanda dinyatakan dalam keadaan
perang (staat van oorlog en beleg alias SOB) dan penguasa militer
Hindia-Belanda secara sah mengeluarkan agak banyak peraturan hukum pidana oleh
Undang-undang Nomor 1 tahun 1946 semuanya dicabut. Jadi, yang tertinggal adalah
peraturan-peraturan hukum pidana sebelum 8 Maret 1942 yang dikeluarkan oleh
Pemerintah Sipil Hindia-Belanda.
Selanjutnya
oleh Undang-undang Nomor 1 tahun 1946 ditentukan sebagai berikut :
·
Pasal III : Jikalau dalam sesuatu
peraturan hukum pidana ditulis perkataan “Nederlandsch-Indie” atau “Nederlandch-Indich
(e) (en)”2, maka perkataan-perkataan itu harus dibaca “Indonesie” atau
Indonesisch (e) (en)” 2.
·
Pasal IV : Jikalau dalam ssuatu peraturan
hukum pidana suatu hak, kewajiban kekuasaan atau perlindungan diberikan atas
suatu larangan ditujukan kepada suatu pegawai, badan, jawatan dan sebagainya,
yang sekarang tidak ada lagi maka hak, kewajiban, kekuasaan atau perlindungan
itu harus dianggap diberikan dan larangan tersebut ditujukan kepada pegawai,
badan, jawatan dan sebagainya, yang harus dianggap menggantinya.
·
Pasal V : Peraturan hukum pidana, yang
seluruhnya atau sebagian sekarang tidak dapat dijalankan atau betentangan
dengan kedudukan Republik Indonesia sebagai negara merdeka atau tidak mempunyai
arti lagi, harus dianggap seluruhnya atau sebagian sementara tidak berlaku.
·
Pasal VI :
(1)
Nama undang-undang hukum pidana “Wetboek van Strafrecht voor Nederlandch-Indie”
diubah menjadi “Wetboek van Strarecht”.
(2)
Undang-undang tersebut dapat disebut “Kitab Undang-undang Hukum Pidana”
·
Pasal VII : Dengan tidak mengurangi apa
yang ditetapkan dalam Pasal III, maka semua perkataan “Nederlandch onderdaan”
dalam Kitab Undnag-undang Hukum Pidana diganti dengan “warga negara Indonesia”.
·
Pasal VIII : Beberapa paal dari Kitab
Undang-undang Hukum Pidana diubah atau dicabut.
·
Pasal-pasal IX s.d XVI memuat beberapa
tindak pidana baru yaitu pasal IX s/d XIII mengenai alat pembayaran yangs ah
berupa mata uang atau uang kertas, pasal XIV mengenai penyiaran kabar bohong
yang denagan itu sengaja diterbitkan keonaran di kalangan rakyat, pasal XV
mengenai penyiaran kabar yang tidak pasti atau kabar yang berlebihan atau yang
tidak lengkap, pasal XVI mengenai penghinaan terhadap bendera kebangsaan
Indonesia.
Pada
akhirnya ditetapkan bahwa undnag-undang ini mulai berlaku untuk pulau Jawa dan
Madura pada hari diumumkannya (26 Februari 1946) dan untuk daerah lain pada
hari yang akan diteapkan oleh presiden.
Dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 1946 tanggal 8 Agustus 1946 (Berita Republik
Indonesia II 20-21 halaman 234) undang-undang ini untuk Sumatera ditetapkan
berlaku mulai tanggal 8 Agustus 1946.
Pada
waktu itu, Pemerintah Hindia-Belanda yang menamakan dirinya pemeritah federal,
sudah ada di Jakarta dan menguasai beberapa daerah baik di jawa, Madura dan
Sumatera maupun diluar daerah-daerah itu dan mengeluarkan beberpa undang-undang
yang mengubah beberapa pasal dari KUHP yang tentunya hanya berlaku bagi
daerah-daerah yang didudukinya sehingga ada dua KUHP.
Keadaan
ini tetap berlangsung juga setelah pada 27 Desember 1949 kedaulatan Republik
Indonesia Serikat diakui oleh pemerintah Belanda. Baru pada tanggal 29
September 1958 melalui Undang-undang No. 73 tahun 1958 yang berjudul
“undang-undang tentang menyatakan berlakunya Undang-undang Nomor 1 tahun 1946
Republik Indonesia tenatang peraturan hukum pidana untuk seluruh wilayah
Republik Indonesia dan mengubah Kitab Undang-undang Hukum Pidana”. Dengan
demikian pada saat itu jelas berlaku satu hukum pidana untuk seluruh wilayah RI
dengan Kitan Undang-undang Hukum Pidana atau KUHP sebagai intinya.
F.
Pembagian Hukum Pidana
1.
Hukum pidana dalam arti objektif dan dalam
arti subjektif
Hukum
pidana objektif (ius poenale) adalah hukum pidana yang dilihat dari aspek
larangan-larangan berbuat, yaitu larangan yang disertai dengan ancaman pidana
bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. Jadi hukum pidna objektif memili
arti yang sama dengan hukum pidana materiil. Sebagaimana dirumuskan oleh
Hazewinkel Suringa, ius poenali adalah sejumlah peraturan hukum yang
mengandunbg larangan dan perintah dan keharusan yang terhadap pelanggarannya
diancam dengan pidana bagi si pelanggarnya. Sementara hukum pidana subjektif
(ius poeniendi) sebagai aspek subjektifnya hukum pidana, merupakan aturan yang
berisi atau mengenai hak atau kewenangan negara :
1.
Untuk menentukan larangan-larangan dalam
upaya mencapai ketertiban umum.
2.
Untuk memberlakukan (sifat memaksanya)
hukum pidana yang wujudnya denagan menjatuhkan pidana kepada si pelanggar
larangan tersebut, serta
3.
Untuk menjalankan sanksi pidana yang telah
dijatuhkan oleh negara pada si pelanggar hukum pidana tadi.
Jadi
dari segi subjektif negara memiliki dan memegang tiga kekuasaan/hak fundamental
yakni :
1.
Hak untuk menentukan perbuatan-perbuatan
mana yang dilarang dan menentukan bentuk serta berat ringannya ancaman pidana
(sanksi pidana) bagi pelanggarnya.
2.
Hak untuk menjalankan hukum pidana dengan
menuntut dan menjatuhkan pidana pada si pelanggar aturan hukum pidana yang
telah dibentuk tadi, dan
3.
Hak untuk menjalankan sanksi pidana yang
telah dijatuhkan pada pembuatnya/petindaknya.
Walaupun
negara mempunyai kewenangan/kekuasaan diatas namun tetap dibatasi jika tidak
maka negara akan melakukan kesewenangan-wenangan sehingga menimbulkan
ketidakadilan, ketidaktentraman dan ketidaktenangan warga diantara negara.
Pembatasan tersebut melalui koridor-koridor hukum yang ditetap dalam hukum
pidana materiil dan hukum pidana formil. Misalnya dalam hukum pidana materil
pasal 362 KUHP tentang larangan perbuatan mengambil benda milik orang lain
dengan maksud memiliki benda itu secara melawan hukum (disebut pencurian) yang
diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda maksimum Rp.
900.000. Terhadap si pelanggar larangan ini, hak negara dibatasi tidak boleh
menjatuhkan pidana :
1.
Selain pidana penjara dan denda
2.
Jika penjara tidak boleh melebihi 5 tahun,
dan jika denda tidak diperkenankan diatas Rp. 900.000.
Juga
dibatasi oleh hukum formil artinya tindakan-tindakan nyata negara
sebelum, pada saat dan setelah menjatuhkan pidana serta menjalankannya
itu diatur dan ditentukan secara rinci dan cermat, yang pada garis besarnya
berupa tindakan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, persidangan dengan pembuktian
dan pemutusan (vonis) dan barulah vonis dijalankan (eksekusi).
Perlakuan-perlakuan negara terhadap pesakitan/pelaku pelanggaran harus menurut
aturan yang sudah ditetapkan dalam hukum pidan formil.
2.
Hukum Pidana Materil dan Hukum Pidana Formil
Tentang
hukum pidana materil dan hukum pidana formil akan dijelaskan menurut pendapat
ahli dibawah ini :
1.
van HAMEL memberikan perbedaan antara
hukum pidana materil dengan hukum pidana formil. Hukum pidana materil itu
menunjukkan asas-asas dan peraturan-peraturan yang mengaitkan pelanggaran hukum
itu dengan hukuman. Sedangkan hukum pidana formil menunjukkan bentuk-bentuk dan
jangka-jangka waktu yang mengikat pemberlakuan hukum pidana materil.
2.
van HATTUM, hukum pidana materil adalah
semua ketentuan dan peraturan yang menujukkan tentang tindakan-tindakan yang
mana adalah merupakan tindakan-tindakan yang dapat dihukum, siapakah orangnya
yang dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindakan-tindakan tersebut dan
hukuman yang bagaimana yang dapat dijatuhkan terhadap orang tersebut (hukum
pidana materil kadang disebut juga hukum pidana abstrak). Sedangkan hukum
pidana formil memuat peraturan-peraturan yang mengatur tentang bagaimana
caranya hukum pidana yang bersifat abstrak itu harus diberlakukan secara nyata.
Biasanya orang menyebut hukum pidana formil adalah hukum acara pidana.
3.
SIMONS, hukum pidana materil itu memuat
ketentuan-ketentuan dan rumusan-rumusan dari tindak pidana, peraturan-peraturan
mengenai syarat tentang bilamana seseorang itu menjadi dapat dihukum,
penunjukkan dari orang-orang yang dapat dihukum dan ketentuan-ketentuan
mengenai hukuman-hukumannya sendiri; jadi ia menentukan tentang bilamana
seseorang itu dapat dihukum, siapa yang dapat dihukum dan bilamana hukuman
tersebut dapat dijatuhkan.
3.
Hukum Pidana Umum dan Hukum Pidana Khusus
Hukum
pidana umum adalah hukum pidana yang ditujukan dan berlaku untuk semua warga
negara (subjek hukum) dan tidak membeda-bedakan kualitas pribadi subjek hukum
tertentu. Setiap warga negara harus tunduk dan patuh terhadap hukum pidana
umum.
Hukum
pidana khusus adalah hukum pidana yang dibentuk oleh negara yang hanya
dikhususkan berlaku bagi subjek hukum tertentu saja. Misalnya hukum pidana yang
dimuat dalam BAB XXVIII buku II KUHP tentang kejahatan jabatan yang hanya diperuntukkan
dan berlaku bagi orang-orang warga. penduduk negara yang berkualitas sebagai
pegawai negeri saja atau hukum pidana yang termuat dalam Kitab UU Hukum Pidana
Tentara (KUHPT) yang hanya berlaku bagi subjek hukum anggota TNI saja.
Jika
ditinjau dari dasar wilayah berlakunya hukum, maka dapat dibedakan antara hukum
pidana umum dan hukum pidana lokal. Hukum pidana umum adalah hukum pidana yang
dibentuk oleh pemerintahan negara pusat yang berlaku bagi subjek hukum yang
berada dan berbuat melanggar larangan hukum pidana di seluruh wilayah hukum
negara. Contohnya adalah hukum pidana yang dimuat dalam KUHP, berlaku untuk
seluruh wilayah hukum negara RI (asas toritorialitet, pasal 2 KUHP). Sedangkan
hukum pidana lokal adalah hukum pidana yang dibuat oleh pemerintah daerah yang
berlaku bagi subjek hukum yang melakukan perbuatan yang dilarang oleh hukum
pidana di dalam wilayah hukum pemerintahah daerah tersebut. Hukum pidana lokal
dapat dijumpai did alam PERDA, baik di tingkat propinsi, kabupaten maupun pemerintahan
kota.
Menurut
PAF. LAMINTANG, penjatuhan-penjatuhan hukum seperti tlah diancamkan terhadap
setiap pelanggar dan peraturan-peraturan daerah itu secara mutlak harus
dilakukan oleh pengadilan. Dengan demikian, maka masalah terbukti atau tidaknya
sseorang yang telah dituduh melakukan suatu pelanggaran terhadap peraturan
daerah, pengadilanlah satu-satunya lembaga yang berwenang untuk memutuskannya.
Dengan pula mengenai hukuman yang bagaimana yang akan dijatuhkan kepada si
pelanggar dan mengenai akibat-akibat hukum lainnya seperti dirampasnya
barang-barang bukti untuk keuntungan negara, dikembalikannya barang-barang
bukti kepaa terhukum dan lain-lainnya, hanya pengadilanlah yang berwenang untuk
memutuskannya. Tidak seorangpun termasuk pemerintah-pemerintah daerah dan
alat-alat kekuasaannya boleh menahan, memeriksa orang yang dituduh telah
melakukan suatu pelanggaran terhadap barang-barangnya tanpa mengajukan mereka
ke pengadilan untuk diadili. Dalam melakukan penahanan, pemeriksaan, dan
penyitaan-penyitaan, pemerintah-pemerintah daerah berikut aalat kekuasaannya,
terikat pada ketentuan-ketentuan seperti yang telah diatur di dalam UU No. 8
tahun 1981 tentang hukum acara pidana. Setiap tindakan yang diambil oleh
alat-alat negara dengan maksud menghukum seseorang yang telah dituduh melakukan
suatu pelanggaran terhadap peraturan-peraturan daerah atau terhadap
ketentuan-ketentuan pidana menurut UU tanpa bantuan dari pengadilan, pada
hakikatnya merupakan suatu perbuatan main hakim sendiri (eigenrichting) yang dilarang
oleh hukum. Sebagaimana diungkapkan oleh HAZEWINKEL SURINGA : “di dalam hukum
pidana baik negara maupun badan yang bersifat hukum publik yang lebih rendah
lainya, tidak berwenang main ahakim sendiri”. Maka dapat dikatakan telah
terjadi perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan jika dilakukan oleh
penguasa disebut onrechtmatige overheidsdaad (perbuatan melanggar hukum oleh
penguasa).
4.
Hukum Pidana Tertulis dan Hukum Pidana Tidak Tertulis
Hukum
pidana tertulis adalah hukum pidana undang-undang, yang bersumber dari hukum
yang terkodifikasi yaitu Kitab Undang-udang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan bersumber dari hukum yang diluar
kodifikasi yang tersebar dipelbagai peraturan perundang-undangan.
Hukum
pidana yang berlaku dan dijalankan oleh negara adalah hukum tertulis saja,
karena dalam hal berlakunya hukum pidana tunduk pada asas legalitas sebagaimana
tertuang dalam Pasal 1 (1) KUHP berbunyi “tiada suatu perbuatan yang dapat
dipidana kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang
telah ada sebelum perbuatan itu dilakukan”.
Sementara
itu hukum pidana tidak tertulis tidak dapat dijalankan. Namun demikian ada satu
daar hukum yang dapat memberi kemungkinan untuk memberlakukan hukum pidana adat
(tidak tertulis) dalam arti yang sangat terbatas berdasarkan Pasal 5 (3b) UU
No. 1/Drt/1951.
5.
Hukum Pidana Yang DiKodifikasikan dan Tidak Dikodifikasikan
Hukum
pidana yang dikodifikasikan (codificatie, belanda) adalah hukum pidana tersebut
telah disusun secara sistematis dan lengkap dalam kitab undang-undang, misalnya
Kitab undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer (KUHPM). Sedangkan yang
termasuk dalam hukum pidana tidak terkodifikasi adalah peraturan-peraturan
pidana yang terdapat di dalam undang-undang atau peraturan-peraturan yang
bersifat khusus (van HATTUM)
G.
PENAFSIRAN UNDANG-UNDANG PIDANA
1.
Pentingnya Penafsiran undnag-undang Pidana
Dalam
hal berlakunya hukum pidana tidak dapat dihindari adanya penafsiran (interpretatie)karena ha-hal sebagai
berikut :
1.
Hukum tertulis tidak dapat dengan segera
mengikuti arus perkembangan masyarakat. Dengan berkembangnya masyarakat berarti
berubahnya hal-hal yang dianutnya, dan nilai-nilai ini dapat mengukur segala
sesuatu, misalnya tentang rasa keadilan masyarakat. Hukum tertulis bersifat
kaku, tidak dengan mudah mengikuti perkembangan dan kemajuan masyarkat. Oleh
karena itu, hukum selalu ketinggalan. Untuk mengkuti perkembangan itu acap kali
praktik hukum menggunakan suatu penafsiran.
2.
Ketika hukum tertulis dibentuk, terdapat
ssuatu hal yang tidak diatur karena tidak menjadi perhatian pembentuk
undang-undang. Namun setelah undang-undang dibentuk dan dijalanka, barulah
muncul persoalan mengenai hal-hal yang tidak diatur tadi. Untuk memenuhi
kebutuhan hukum dan mengisi kekosongan norma semacam ini, dalam keadaan yang
mendeak dapat menggunakan suatu penafsiran.
3.
Keterangan yang menjelaskan arti beberapa
istilah atau kata dalam undnag-undang itu sendiri (Bab IX Buku I KUHP) tidak
mungkin memuat seluruh istilah atau kata-kata penting dalam pasal-pasal
perundang-undangan pidana, mengingat begitu banyaknya rumusan ketentuan hukum
pidana. Pembentuk undang-undnag memberikan penjelasan hanyalah pada istilah
atau unsur yang benar-benar ketika undnag-undang dibentuk dianggap sangat
penting, ssuai dengan maksud dari dibentuknya norma tertentu yang dirumuskan.
Dalam banyak hal, pembentuk undnag-undang menyerahkan pada perkembangan praktik
melalui penafsiran-penafsiran hakim. Oleha karena itu, salahy satu pekerjaan
hakim dalam menerapkan hukum ialah melakukan penafsiran hukum.
4.
Acap kali suatu norma dirumuskan secara
singkat dan besifat sangat umum sehingga menjadi kurang jelas maksud dan
artinya. Oleh karena itu, dalam menerapkan norma tadi akan menemukan kesulitan.
Untuk mengatasi kesulitan itu dilakuakn jalan menafsirkan. Dalam hal ini hakim
bertugas untuk menemukan pikiran-pikiran apa yang sebenarnya yang terkandung
dalam norma tertulis. Contohnya dalam rumusan Pasal 1 (2) KUHP perihal unsur
”aturan yang paling menguntungkan terdakwa” mengandung ketidakjelasan arti dan
maksud dari ”aturan yang paling menguntungkan. Hal tersebut dapat menimbulkan
bermacam pendapat hukum dari kalangan ahli hukum. Timbulnya beragam pendapat
seperti ini karena adanya penafsiran.
Bedasarkan
hal diatas sangatlah jelas bahwa perkembangan masyarakat dimana kebutuhan hukum
dan rasa keadilan juga berubah sesuai denagan nilai-nilai yang dianut dalam
masyarakat, maka untuk memenuhi tuntutan rasa keadilan masyarakat sesuai dengan
nilai-nilai yang berkembang dan dianut masyarakat tersbeut, dalam praktik
penerapan hukum diperlukan penafsiran.
Untuk
(KUHP) tidak memberikan petunjuk tentang bagaimana cara hakim untuk melakukan
penafsiran. Cara-cara penafsiran ada dalam doktrin hukum pidana. Untuk
melakukan penafsiran, cara yang akan digunakan diserahkan pada praktik hukum.
Hanya saja terhadap suatu cara penafsiran telah terjadi perbedaan pendapat
yaitu terhadap penggunaan penafsiran analogi, dimana ada sebagian pakar hukum
yang keberatan berkaiatan dengan masalah asas legalitas tentang berlakunya
hukum pidana sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP.
2.
Macam-Macam Penafsiran Dalam Hukum Pidana
a.
Penafsiran Autentik
Penafsiran
autentik (resmi) Penafsiran sahih (autentik, resmi) ialah penafsiran yang pasti
terhadap arti kata-kata itu sebagaimana yang diberikan oleh pembentuk UU, atau
penafsiran ini sudah ada dalam penjelasan pasal demi pasal, misalnya
Pasal 98 KUHP : arti waktu ”malam” berarti waktu antara matahari terbenam dan
matahari terbit; Pasal 101 KUHP: “ternak” berarti hewan yang berkuku satu,
hewan memamah biak dan babi (periksa KUHP Buku I Titel IX).
Contoh
lainnya dalam penjelasan atas pasal 12 B ayat (1) UU No 20 tahun 2001,
menjelaskan yang dimaksud dengan gratifikasi dalam ayat ini adalah pemberian
dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount),
komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasiltas penginapan, perjalanan
wisata, pengobatan cuma-Cuma dan fasiltas lainnya. Gratifikasi tersebut baik
yang diterima di dalam negeri maupun luar negeri dan yang dilakukan dengan
menggunakan sarana elektronik atau sarana tanpa elektronik.
Dikatakan
penafsiran otentik karena tertulis secara esmi dalam undnag-undang artinya
berasal dari pembentuk UU itu sendiri, bukan dari sudut pelaksana hukum yakni
hakim. Dalam penafsiran bermakna hakim kebebasannya dibatasi. Hakim tidak boleh
memberikan arti diluar dari pengertian autentik. Sedangkan diluar KUHP
penafsiran resmi dapat dilihat dari ketentuan-ketentuan umum dan penejelasan
pasal demi pasal.
b.
Penafsiran tata bahasa (gramaticale interpretatie), disebut juga
penafisran menurut atau atas dasar bahasa sehari-hari yang digunakan oleh
masyarakat yang bersangkutan. Bekerjanya penafsiran ini ialah dalam hal untuk
mencari pengertian yang sebenarnya dari suatu rumusan norma/unsurnya, dengan
cara mencari pengertian yang sebenarnya menurut bahasa sehar-hari yang
digunakan masyarakat yang bersangkutan. Sebagai contoh dapat dikemukakan hal
yang berikut : Suatu peraturan perundangan melarang orang memparkir
kenderaannya pada suatu tempat tertentu. Peraturan tersebut tidak menjelaskan
apakah yang dimaksudkan dengan istilah “kendaraan” itu.
Orang
lalu bertanya-tanya, apakah yang dimaksudkan dengan perkataan “kenderaan” itu,
hanyalah kenderaan bermotorkah ataukah termasuk juga sepeda dan bendi.
Contoh
lain kata “dipercayakan” sebagaimana dirumuskan dalam dalam pasal 432 KUHP
secara gramatikal diartikan dengan “diserahkan”, kata “meninggalkan” dalam
pasal 305 KUHP diartikan secara gramatikal dengan “menelantarkan”.
Contoh
lain adalah kasus melalui putusan Pengadilan Tinggi Meda tanggal 8-8-1983 No.
144/Pid/PT Mdn telah memberikan arti bonda (bahasa Batak) dari
unsur benda (goed)dalam penipuan adalah
juga temasuk ”alat kelamin wanita”. Perhatikanlah petimbangan Pengadilan Tinggi
Medan mengenai hal ini sebagai berikut , ”bahwa walaupun belebihan, khusus dan
teutama dalam perkara ini tentang istilah barang, dalam bahasa daeah tedakwa
dan saksi (Tapanuli) dikenal istilah ”bonda” yang tidak lain daripada barang,
yang diatikan kemaluan sehingga bilsa saksi K.br.S menyeahkan kehormatannya
kepada terdakwa samalah dengan menyeahkan benda/barang.
Tentu
pendapat Pengadilan Tinggi Medan ini masihd apat diperdebatkan. Pertimbangan
Pengadilan tinggi Medan seperti disini bukan ditujukan pada tepat atau tidak
tepatnya pendapat itu, melainkan sekadar memberi contoh bahwa disini hakim
telah berusaha untuk mencapai keadilan dengan menggunakan penafsian tata bahasa
menurut bahasa yang digunakan oleh masyarakat yang besangkutan walaupun diakui
oleh hakim yang besangkutan sebagai pertimbangan yang berlebihan.
c.
Penafsiran historis (historiche interpretatie) yaitu :
1)
Sejarah hukumnya, yang diselidiki maksudnya berdasarkan sejarah terjadinya
hukum tersebut. Sejarah terjadinya hukum dapat diselidiki dari memori
penjelasan, laporan-laporan perdebatan dalam DPR dan surat menyurat antara
Menteri dengan Komisi DPR yang bersangkutan, misalnya rancangan UU, memori
tanggapan pemerintah, notulen rapa/sidang, pandangan-pandangan umum, dll
2)
Sejarah undang-undangnya, yang diselidiki maksud pembentuk UU pada waktu
membuat UU itu, misalnya denda f 25.-, sekarang ditafsirkan dengan uang
Republik Indonesia sebab harga barang lebih mendekati pada waktu KUHP
1.
Penafsiran sistematis/dogmatis (systematische
interpretatie),
penafsiran menilik susunan yang berhubungan dengan bunyi pasal-pasal lainnya
baik dalam UU itu maupun dengan UU yang lainnya misalnya ”ketentuan paling
menguntungkan” dalam rumusan ayat 2 dari Pasal 1 KUHP apabila dihubungkan
dengan rumusan ayat 1 pasal 1 KUHP yang merumuskan ”suatu perbuatan dapat
dipidana keculai bedasarkan kekuatan ketentuan peundang-undangan pidana yang
telah ada, pengetiannya adalah suatu ketentuan tentang tidak dapat dipidanya
perbuatan. Artinya semula perbuatan tetentu dipidana, kemudian menurut
ketentuan yang baru menjadi tidak dapat dipidana. Misalnya sebulan yang lalu A
melakukan perbuatan pidana yang dapat dihukum, kemudian hari ini muncul UU yang
mengatur perbuatan poidana tesebut tidak dapat dihukum. Dengan demikian yang
dibelakukan adalah UU pidana bau yang menguntungkan.
Contoh
lain, misalnya pengertian perbuatan ”menggugurkan kandungan”, dalam Pasal 347
KUHP, yang artinya kandungan (vucht) atau yang janin dari
perut ibu bahwa vrucht yang dipaksa keluarkan itu harus dilakukan pada janin
yang hidup, bukan janin yang sudah mati. Mengapa demikian ? karena jika melihat
pasal 347 itu dengan menghubungkannya pada judul Bab XIX tentang kejahatan
terhadap Nyawa (secaa sistematis), dimana pasal 347 itu adalah bagian dari Bab
IX itu, semua objek kejahatan dalam Bab XIX adalah nyawa. Artinya, janin tadi
haruslah benyawa dan tidak berlaku bagi janin yang sudah tidak bernyawa atau
telah mati. Janin yang hidup dalam peut ibu yang mengandungnya dipandang
sebagai satu kehidupan yang bediri sendiri yang lain dari nyawa atau kehidupan
ibu yang mengandungnya.
1.
Penafsiran Logis (Logische
Interpretatie) adalah
suatu macam penafsiran dengan cara menyelidiki untuk mencari maksud sebenarnya
dari dibentuknya suatu rumusan norma dalam UU dengan menghubungkannya (mencari
hubungannya) denagan rumusan norma yang lain atau dengan undang-undang yang
lain yang masih ada sangkut-pautnya dengan rumusan norma tersebut (lihat pasal
55 KUHP).
2.
Penafsiran Teleologis (Teleologische
Interpretatie))
yaitu penafsiran dengan mengingat maksud dan tujuan UU itu. Ini penting
disebabkan kebutuhan-kebutuhan berubah menurut masa sedangkan bunyi UU tetap
sama saja. Contoh pada saat masih ebrlakunya UU No. 11/PNPS/1963 tentang
Pemberantasan Kegiatan Subversi (dicabut dengan UU No. 26 tahun 1999), di dalam
menafsirkan rumusan yang ada dalam UU itu mengenai suatu kasus tertentu, selalu
didasarkan pada maksud dari pembentuk UU itu, yaitu untuk memberantas setiap
perbuatan atau upaya-upaya yang menggangu dan menggoyang kelangsungan dan atau
kestabilan kekuasaan pemerintahan negara ketika itu.
3.
Penafsiran Analogis, memberi tafsiran pada
sesuatu peraturan hukum dengan memberi ibarat (kiyas) pada kata-kata tersebut
sesuai dengan asas hukumnya, sehingga sesuatu peristiwa yang sebenarnya
tidak dapat dimasukkan, lalu dianggap sesuai dengan bunyi peraturan tersebut
(ada rasio persamannya kejadian konkretnya terhadap noma-noma tesebut),
misalnya pasal 388 ayat (1) yang melarang oang melakukan pebuatan curang pada
waktu menyeahkan keperluan angkatan laut atau angkatan darat yang dapat
membahayakan keselamatan negaa dalam keadaan perang. Jadi tidak ada diatur
keperluan angkatan udara. Tetapi dengan menggunakan penafsirang analogis, maka
jika terjadinya menyerahkan pada angkatan udara maka pasal ini juga dapat
dikenakan karena pada dasar fungsi, peranan dan tugas angkatan laut dan darat
juga sama dengan tugas angkatan udara yaitu dalam usaha perlindungan
keselamatan dan keamanan negara.
Walaupun
banyak kalangan ahli hukum melarang menggunakan analogis karena bertentangan
dengan asas legalitas namun dalam praktek hukum terjadi juga analogi
misalnya (Arrest Hoge Raad tanggal 23 Mei 1921) yang menganalogikan
“menyambung” aliran listrik dianggap sama dengan “mengambil” aliran listrik
sehingga dapat dijeat pasal 362 KUHP.
1.
Penafsiran Esktensip, memberi tafsiran
dengan memperluas arti kata-kata dalam peraturan itu sehingga sesuatu peristiwa
dapat dimasukkannya seperti “aliran listrik” termasuk juga “benda”. Jadi,
penafisran ekstensif didasarkan makna norma itu menurut keadaan yang sekarang
yang atinya ada perubahan makna dari sesuatu pengertian unsur-unsur rumusan
atau umusan suatu norma (hampir sama dengan analogi).
2.
Penafsiran a Contrario (menurut
peringkaran) ialah suatu cara menafsirkan UU yang didasarkan pada perlawanan
pengertian antara soal yang dihadapi dan soal yang diatur dalam suatu pasal UU.
Dengan berdasarkan perlawanan pengertian (peringkaran) itu ditarik kesimpulan,
bahwa soal yang dihadapi itu tidak diliputi oleh pasal yang termaksud atau
dengan kata lain berada diluar pasal tersebut.
Penafsiran
ini diterangkan oleh Satochid Kartanegara bahwa ”keadaan ini kita jumpai
apabila terdapat beberapa hal yang diatur dengan tegas oleh UU, tetapi
disamping itu tedapat pula hal-hal, yang sandaran maupun sifatnya sama, tidak
diatur denagan tegas oleh UU, sedang hal-hal ini tidak diliputi oleh UU yang
mengatur hal-hal tegas ini (lihat Pasal 285 KUHP).
Contoh
Pasal 34 KUHPerdata menentukan bahwa seorang perempuan tidak diperkenankan
menikah lagi sebelum liwat 300 hari setelah perkawinannya terdahulu diputuskan.
Timbullah kini pertanyaan, bagaimanakah halnya dengan seorang laki-laki ?
Apakah seorang laki-laki juga harus dan khusus ditujukan kepada orang
perempuan.
Maksudnya
“waktu menunggu” dalam pasal 34 KUHPerdata ialah untuk mencegah adanya
keragu-raguan mengenal kedudukan sang anak, berhubung dengan kemungkinan bahwa
seorang perempuan sedang mengandung setelah perkawinannya diputuskan. Jika
dilahirkan anak setelah perkawinan yang berikutnya, maka menurut UU anak itu
adalah anaknya suaminya yang terdahulu (jika anak itu lahir sebelum liwat 300
hari setelah putusnya perkawinan teahulu). Ditetapkan waktu 300 hari ialah
karena waktu itu dianggap sebagai waktu kandungan yang paling lama.
Diatas
telah dikemukakan beberapa metode penafsiran (interpretasi), yang mana yang
harus dipilih ?
Peraturan
umum mengenai pertanyaan metode interpretasi yang mana, dalam peristiwa konkrit
yang mana, yang harus digunakan oleh hakim tidak ada. Pembentuk UU tidak
memberi prioritas kepada salah satu metode dalam menemukan hukum. Hakim hanya
akhirnya akan menjatuhkan pilihannya berdasarkan petimbangan metode manakah
yang paling meyakinkan dan yang hasilnya paling memuaskan. Pemilihan mengenai
metode interpretasi merupakan otonomi hakim dalam penemuan hukum. Motivasi
pemilihan metode interpretasi itu tidak pernah kita jumpai dalam yurisprudensi
: mengapa hakim memilih metode interpretasi yang ini dan bukan yang itu tidak
pernah disebut dalam yurisprudensi. Di dalam putusan-putusannnya hakim tidak
pernah menegaskan argumen atau alasan apakah yang menentukan untuk memilih
metode tertentu. Metode interpretasi itu sering digunakan bersama-sama atau
campur aduk. Dapatlah dikatakan bahwa dalam tiap interpretasi atau penjelasan
UU terdapat unsur2 gramatikal, historis, sistematis dan teleologis.
BAB II
RUANG LINGKUP BERLAKUNYA HUKUM PIDANA
·
Hukum Pidana disusun dan dibentuk dengan
maksud untuk diberlakukan dalam masyarakat agar dapat dipertahankan segala
kepentingan hukum yang dilindungi dan terjaminnya kedamaian dan ketertiban.
·
Dalam hal diberlakukannya hukum pidana
ini, dibatasi oleh hal yang sangat penting, yaitu :
1.
Batas waktu (diatur dlm buku pertama, Bab
I pasal 1 KUHP)
2.
Batas tempat dan orang (diatur dlm buku
Pertama Bab I Pasal 2 – 9 KUHP)
A. BATAS BERLAKUNYA HUKUM PIDANA
MENURUT WAKTU
·
Prinsip/asas legalitas telah diperjuangkan
sejak abad XVIII di Eropa Barat sebagai reaksi atas berlakunya hukum pidana
zaman monarki absolut dengan menjalankan hukum pidana secara sewenang-wenang,
sekehendak dan menurut kebutuhan Raja sendiri.
·
Ahli hukum yang memperjuangkan dan
memperkenalkan asas legalitas ini yang terkenal adalah Montesquieu (1689-1755)
dengan teori Trias Politicanya yang disempurnakan oleh Von Feurbach
(1755-1833).
·
Trias Politica :
1.
Kekuasaan legislatif atau membuat
perundang-undangan yang dipegang leh parlemen.
2.
Kekuasaan eksekutif yang menjalankan
pemerintahan yang dipegang oleh pemerintah dan
3.
Kekuasaan yudikatif atau kehakiman, yakni
badan yang menjalankan hukum yang telah dibuat oleh parlemen. Badan kehakiman
ini tidak bertugas menentukan tentang perbuatan apa yang dilarang dan diancam
pidana, melainkan hanya semata-mata bertugas untuk memeriksa dan memutus apakah
suatu perbuatan tertentu telah bertentangan dengan ketentuan undang-undang.
·
Dengan adanya ajaran Trias Politica itu,
untuk memidana seseorang atas perbuatan yang dilakukannya, disyaratkan agar
terlebih dulu harus ada ketentuan hukum yang menyatakan perbuatan itu sebagai
dilarang dan dapat dipidana (dibuat dulu aturan oleh legislatif).
·
Anselm Von Feuerbach (Belanda) melakukan
upaya yang lebih konkret dalam memperkenalkan asas legalitas yang terkenal
dengan ucapannya dalam bahasa latin (dalam bukunya yang berjudul “Lehrbuch
des peinlichen Recht”,
1801) yaitu “Nullum delictum nulla poena sina
praevia lege” yang
artinya tidak ada pidana tanpa adanya ketentuan hukum yang lebih dulu
menentukan demikian. Ucapannya ini secara jelas mengandung
pengertian sebagaimana yang dimaksud dengan asas legalitas
·
Selanjutnya menurut Anselm Von Feuerbach
beliau mengajarkan bahwa untuk menjamin dan mempertahankan ketertiban
masyarkat, pidana harus berfungsi menakut-nakuti orang-orang agar tidak berbuat
jahat, dan agar orang takut berbuat jahat, terlebih dulu ia harus mengetahui
tentang ancaman pidana terhadap perbuatan jahat tersebut.
·
Agar orang mengetahui perihal ancaman
pidana itu, hal-hal yang dilarang beserta ancaman pidananya itu harus
ditetapkan terlebih dulu dalam UU.
·
Asas legalitas yang juga dikenal dengan
asas “asas nulla poena” pertamakali dimuat dalam
pasal 8 “Declaration des droits de
L’hommeet du Citoyen” (1789), semacam Undang-Undang Dasar yang pertama
dibentuk pada masa revolusi Prancis, yang bunyinya “tidak ada sesuatu yang
boleh dipidana selain karena suatu wet yang ditetapkan dalam
undang-undang dan diundangkan secara sah (Moeljatno, 1983 : 24). Kemudian asas
ini dimuat dalam Pasal 4 Code Penal Prancis tahun 1810.
·
Ketika Belanda lepas dari pemerintahan
Prancis tahun 1813, Code Penal ini tetap diberlakukan di Belanda sampai
digantinya WvS Nederland 1881.
·
Code Penal 1810 ini berlaku 75 tahun di
Belanda walaupun sifatnya sementara
·
Dalam WvS Nederland (disusun tahun 1881
dan mulai berlaku tahun 1886) yang baru ini asas legalitas dari Code Penal
Prancis itu masuk didalamnya (Pasal 1 ayat 1).
·
Berdasarkan asas konkordansi WvS Nederland
diberlakukan di Hindia Belanda pada 1 Januari 1918 menjadi Wetboek
van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (yakni kini KUHP), dimana juga asas
legalitas ini tetap tercantum di dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP Indonesia.
·
Pasal 1 ayat 1 KUHP merumuskan “suatu
perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan
perundang-undangan pidana yang telah ada terlebih dulu “Geen
feit is strafbaar dan uit kracht van eene daaraan vooragegane wettelike
strafbepaling).
·
Asas ini dalam bahasa latinnya adalah Nullum
delictum nulla poena sine praevia legi poenali”.
·
Dalam ketentuan Pasal 1 ayat 1 KUHP
tersebut, ada tiga pengertian dasar dalam asas legalitas itu yaitu : 1)
Ketentuan hukum pidana itu harus ditetapkan lebih dahulu secara tertulis. 2)
Dalam hal untuk menentukan suatu perbuatan apakah berupa tindak pidana ataukah
bukan tidak boleh menggunakan penafsiran analogi. 3) Ketentuan hukum pidana
tidak berlaku surut (terugwerkend atau retroaktif).
·
Dari tiga pengertian dasar diatas, tampak
betul bahwa asas legalitas ini berlatarbelakang pada kepastian
hukum yang
berkaitan dengan perlindungan yang lebih konkret terhadap hak-hak warga yang
berhadapan dengan kekuasaan pemerintahan negara
·
Dengan asas legalitas terhindar dan dapat
mencegah sewenang-wenangan penguasa dalam bidang peradilan pidana. Asas
legalitas adalah ajaran kepastian hukum
·
Dapat disimpulkan hukum pidana harus
tertulis, tidak boleh ada penafsiran analogi dan tidak boleh berlaku surut.
1) Hukum pidana harus tertulis :
·
Peraturan perundangan haruslah tertulis
karena tertulis berarti harus ditetapkan terlebih dulu, baru kemudian
diberlakukan.
·
Ketentuan pidana harus tertulis bukan saja
dalam bentuk undang-undang, tetapi juga tertulis dalam bentuk
peraturan-peraturan lainnya yang tingkatannya dibawah undang-undang.
·
Jadi, sumber hukum pidana itu bukan saja
UU dalam arti formil tetapi juga dalam arti materiil termasuk peraturan
pemerintah,peraturan daerah (kabupaten atau kota), peraturan menteri, keputusan
presiden dan lain sebagainya yang mengandung aspek hukum pidana.
Kelemahan
:
·
Hukum pidana yang harus dibuat tertulis
mempunyai kelemahan yaitu hukum pidana kaku, tidak dapat dengan cepat mengikuti
perkembangan masyarakat dan lagi pula banyak perbuatan-perbuatan dalam
masyarakat yang patut dipidana seperti dalam hukum adat (pidana) yang masih
hidup namun tidak dapat dijalankan karena tidak ada bandingannya dalam
peraturan tertulis ini.
·
Untuk peran hukum adat sebagaimana
tertuang dalam Pasal 5 ayat 3b UU No. 1 (drt) 1951 sangatlah penting.
2) Larangan Menggunakan Penafsiran Analogi
Dalam Hukum Pidfana
·
Salah satu pekerjaan hakim adalah
melakukan penafisran hukum, terutama terhadap norma tindak pidana dalam hukum
tertulis ketika norma tersebut diterapkan dalam suatu peristiwa konkret tertentu.
·
Norma-orma hukum pidana mengenai rumusan
tindak pidana ketika diterapkan pada kejadian atau peristiwa-peristiwa konkret
tertentu tidak jarang memerlukan penafsiran
·
Hal ini dapat terjadi pada peristiwa
tertentu yang tidak sama persis dengan apa yang dirumuskan dalam UU, mengenai
salah satu atau beberapa unsur tindak pidananya.
·
Ada beberapa macam penafsiran yang telah
dikenal dalam doktrin hukum pidana yaitu penafisran autentik, penafsiran
gramatikal, penafsiran logis, penafsiran sistematis, penafisran historis,
penafisran ekstensif, penafsiran a kontrario, penafsiran terbatas dan
penafisran analogis.
·
Dari sekian penafsiran diatas penafsiran
analogi oleh berbagai kalangan ahli hukum tidak boleh digunakan dalam hukum
pidana, mengingat pasal 1 (1) KUHP walaupun ada sebagian pakar hukum
membolehkan seperti Tavarne, Pompe, Jonkers, di Indonesia Wirjono Prodjodikoro.
·
Alasan mengapa analogi dilarang dalam
hukum pidana berpokok pangkal untuk menjamin kepastian hukum. Dirasakan sebagai
penyerangan dan pelanggaran atas kepastian berlakunya hukum apabila analogi itu
dipergunakan, sebagaimana dasar dibentuknya rumusan Pasal 1 (1) KUHP ialah pada
latar belakang kepastian hukum dalam rangka melindungi rakyat dari upaya
kesewenang-wenangan penguasa melalui para hakim.
·
Akan tetapi, terlepas dari adanya
kelemahan dari larangan menggunakan analogi, perluasan berlakunya hukum yang
demikian ini mempunyai mamfaat dalam upaya mencapai keadilan, dimana menurut
masyarakat sesuatu perbuatan yang tidak secara tepat dapat dipidana melalui
aturan pidana tertentu, namun dengan menggunakan analogi bagi pelaku perbuatan
itu menjadi dapat dipidana.
·
Diakui bahwa analogi mengurangi kepastian
hukum dan dapat disalahgunakan oleh penguasa melalui para hakimnya atau oleh
hakim yang tidak bijaksana, namun begitu analogi amat berguna dan dapat dipakai
dalam hal untuk mengisi kekosongan dalam peraturan perundang-undangan.
·
Analogi adalah penafsiran terhadap suatu
ketentuan hukum (pidana) dengan cara memperluas berlakunya aturan hukum tersebut
dengan mengabstraksikan rasio ketentuan itu sedemikian rupa luasnya pada
kejadian konkret tertentu sehingga kejadian yang sesungguhnya tidak masuk ke
dalam ketentuan itu menjadi masuk ke dalam isi atau pengertian ketentuan hukum
tersebut.
·
Dengan kata lain, analogi itu
terjadi apabila suatu peraturan hukum menyebut dengan tegas suatu kejadian yang
diatur, tetapi peraturan itu dipergunakan juga bagi kejadian/peristiwa lain
yang tidak termasuk dalam peraturan itu, ada banyak persamaannya dengan kejadian
yang disebut tadi.
·
Contoh kasus : misalnya dari ketentuan
pasal 365 (2) sub 1 yang antara lain melarang melakukan pencurian dalam kereta
api atau trem yang sedang berjalan, berlaku juga pada pencurian dalam sebuah
bis yang sedang berjalan. Dalam hal ini bis dianalogikan dengan kereta api atau
trem sehingga orang yang mencuri dalam sebuah bis yang sedang berjalan dapat
pula diterapkan ketentuan hukum pidana menurut Pasal 365 (2) sub 1 ini (Wirjono
Prodjodikoro).
·
Mengapa bis dianalogikan dengan trem, rasio
larangan mencuri didalam trem yang sedang berjalan yang berlatar belakang pada
larangan mencuri dalam kenderaan angkutan yang sedang berjalan pada dasarnya
sama dengan rasio melarang mencuri dalam sebuah bis yang sedang berjalan karena
kereta api, trem dan bis adalah sama, angkutan umum yang berjalan.
·
Mengapa tidak disebut bis dalam Pasal 365
ayat 2 sub 1 karena ketika KUHP (WvS Belanda 1881) dibentuk, belum ada bis yang
dipergunakan sebagai angkutan umum seperti keadaan sat ini. Jadi apa salahnya dengan
analogi melarang pula mencuri dalam sebuah bis yang sedang berjalan.
·
Pengertian seperti ini sesuai dengan
pengertian dari perbuatan mengambil sebagai unsur tingkah laku pada pencurian
yaitu berupa benda-benda yang dapat diambil, artinya yang dapat dipidahkan
kekuasaannya dalam arti yang sebenarnya. Mengambil dalam arti berbuat sesuatu
dengan memindahkan kekuasaan atas sesuatu benda ke dalam kekuasaannya/ ke
tangannya menurut akal pikiran orang pada umumnya hanyalah dapat dilakukan pada
benda-benda berwjud dan bergerak saja. Aliran/energi dari sudut pandang
demikian bukanlah benda. Akan tetapi, untuk menjangkau keadilan, Hoge Raad
telah menggunakan analogi dengan memberi arti baru tentang benda, yakni berupa
sesuatu bagian dari kekayaan manusia. Dengan dasar pengertian semacam itu,
energi listrik dapat pula merupakan benda yang menjadi objek pencurian. Energi
listrik adalah bagian kekayaan, karena mempunyai nilai ekonomis. Pemakaian
energi itu harus membayar kepada perusahaan si pemilik energi. Dengan alasan
seperti itu, maka dapat dimengerti bahwa kemudian pada sebagian ahli hukum
memberi arti baru bahwa benda merupakan sesuatu yang bernilai ekonomis dan
mempunyai nilai bagi manusia (Satochid Kartanegara, 172).
·
Contoh lain : dalam sejarah praktik hukum,
dengan menerapkan analogi yang terkenal dan banyak dimuat dalam berbagai
literatur hukum, dalam arrest HR tanggal 23 Mei 1921 yang meganalogikan
aliran/tenaga listrik itu dengan pengertian benda sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 362 KUHP (pencurian). Pengertian benda dalam kejahatan ini menurut
keterangan dalam MvT mengenai pembentukan Pasal 310 WvS Belanda (362 KUHP kita)
terbatas pada benda-benda bergerak (roerent goed) dan benda-benda berwujud
(Stoffelijk goed).
3) Hukum pidana tidak berlaku surut
·
Pernyataan hukum pidana tidak berlaku
surut, tepai berlaku ke depan dapat disimpulkan dari kalimat yang menyatakan
“…..ketentuan perundang-undangan pidana yang
telah ada”
(Pasal 1 ayat 1 KUHP)
·
Yang artinya adalah ketika perbuatan itu
dilakukan telah berlaku aturan hukum pidana yg melarang melakukan perbuatan
tsb. Disini perlu ada kepastian hukum (rechtszekerheid).
·
Pernyataan hukum pidana tidak berlaku
surut, tetapi berlaku ke depan dapat disimpulkan dari kalimay yg menyatakan
“…..ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada” (Pasal 1 ayat 1 KUHP).
Yang artinya adalah ketika perbuatan itu dilakukan telah berlaku aturan hukum
pidana yang melarang melakukan perbuatan tsb. Disini perlu ada kepastian hukum
(rechtszekerheid).
·
Selanjutnya pada Pasal 1 ayat 2 KUHP
berbunyi “bilamana ada perubahan dalam
peraturan perUUan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa
diterapkan ketentuan yg paling menguntungkan”. (Disini mengandung keadilan)
·
Pasal 1 ayat 2 KUHP ini (asas retroaktif)
adalah pengecualian pasal 1 ayat 1 KUHP (asas legalitas). Disini terjadi hukum
boleh diberlakukan surut (hukum diberlakukan kebelakang)
·
Ada 3 syarat diberlakukannya hukum berlaku
ke belakang/surut menurut pasal 1 ayat 2 KUHP yaitu :
1)
Harus ada perubahan perUUan mengenai suatu perbuatan,
2)
Perubahan tersebut terjadi setelah perbuatan dilakukan, dan
3)
Dimana peraturan yangg baru itu lebih menguntungkan atau meringankan bagi
pelaku perbuatan itu.
B. BATAS BERLAKUNYA HUKUM PIDANA
MENURUT TEMPAT DAN ORANG
·
Batas diberlakunya hukum pidana menurut
tempat diatur dalam pasal 2,3,4,8,9 KUHP sedangkan batas berlakunya hukum
pidana menurut orang atau subjeknya diatur dalam pasal 5,6,7 KUHP.
·
Mengenai berlakunya hukum pidana menurut
tempat dan orang dikenal ada 4 asas yaitu :
1.
Asas teritorialiteit
(territorialiteits-beginsel) atau asas wilayah negara
2.
Asas personaliteit (personaliteits
beginsel) disebut juga dengan asas kebangsaan, asas nationalitet aktif atau
asas subjektif (subjektions prinzip)
3.
Asas perlindungan (bescbermings beginsel)
atau disebut juga asas nasional pasif
4.
Asas universaliteit (universaliteits
beginsel) atau asas persamaan
Asas teritorialiteit :
·
Adalah asas yang memberlakukan KUHP bagi
semua orang yang melakukan pidana di dalam lingkungan wilayah Indonesia. Asas
ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 2 dan 3 KUHP. Tetapi KUHP tidak berlaku
bagi mereka yang memiliki hak kebebasan diplomatik berdasarkan asas ”ekstrateritorial”.
·
Asas teritorial ini diatur dalam pasal 2
yang berbunyi “aturan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku
terhadap setiap orang yang melakukan tindak pidana di dalam wilayah Inbdonesia”
·
Disini siapapun yang melakukan tindak
pidana di wilayah Indonesia dapat dipidana sesuai hukum pidana yang berlaku di
Indonesia baik didarat, laut maupun udara.
·
Wilayah laut 12 mil pulau terluar, kalau
kurang dari 12 mil, maka di pakai garis tengah selat (selat malaka) = UU No
4/Prp/1960 Pasal 1 ayat 2.
·
Sedangkan tindak pidana di air dan udara
diatur dalam pasal 3 dan UU no. 4 tahun 194, dimana disebutkan “ketentuan
pidana perudang-undangan Indonesia berlaku bagi setaip orang yang diluar
Indonesia melakukan tindak pidana di dalam kenderaan air atau pesawat udara Indonesia
Asas Personaliteit :
·
Adalah asas yang memberlakukan KUHP
terhadap orang-orang Indonesia yang melakukan perbuatan pidana di luar wilayah
Republik Indonesia. Asas ini bertitik tolak pada orang yang melakukan perbuatan
pidana. Asas ini dinamakan juga asas personalitet.
·
Asas ini terdapat dalam Pasal 5, 6, 7 dan
8 KUHP
·
Pasal 5 ayat 1 berbunyi “Ketentuan pidana
dalam Peraturan perundang-undangan Indonesia berlaku terhadap warga negara yang
diluar Indonwesia melakukan :
1.
Salah satu kejahatan tersebut dlm Bab I
dan II Buku Kedua dan Pasal 160, 161, 240, 279, 450 dan 451 KUHP
2.
Salah satu perbuatan yang oleh suatu
ketentuan pidana dalam peraturan perundang-undangan pidana Indonesia dipandang
sebagai kejahatan, sedangkan menurut perundang-undangan negara dimana perbuatan
dilakukan diancam dengan pidana
·
Pasal 5 ayat 2 berbunyi “Penuntutan
perkara sebagaimana dimaksud dalam butir 2 dapat dilakukan juga jika terdakwa
menjadi warga negara sesudah melakukan perbuatan.
·
Bab I berkaitan dengan kejahatan terhadap
keamanan negara (104-129) dan Bab II adalah mengenai kejahatan terhadap
martabat presiden dan wakil presiden (130-139).
·
Pasal 5 ayat 1 ke-1 KUHP hanya berlaku
berkaitan dengan tindak pidana yg terjadi kepada setiap warga negara RI yg
melakukan diluar Indonesia sebagaimana diancam dalam pasal-pasal tsb.
·
Sedangkan pasal 5 ayat 1 ke-2 hanya
berlaku berkaitan dengan tindak pidana setiap warga negara RI yg melakukan
diluar Indonesia namun tindak pidana tsb harus berupa kejahatan bukan
pelanggaran dan perbuatan tindak pidana tsb oleh negara dimana perbauatan tsb
dilakukan juga merupakan perbuatan pidana yg dapat diancam.
·
Sedangkan ayat 2 Pasal 5 berkaitan dengan
apabila ada orang asing melakukan tindak pidana diluar negeri setelah itu ia
masuk warga negara Indonesia. Maka dapat juga dituntut menurut ayat 2 ini.
·
Selanjutnya dalam pasal 6 berbunyi “berlakunya
pasal 5 ayat 1 ke 2 dibatasi sedemikian rupa sehingga tidak dijatuhkan pidana
mati, jiak menurut perundang-undangan negara dimana perbauatan dilakukan,
terhadapnya tidak diancam dengan pidana mati”.
·
Selanjutnya dalam pasal 7 berbunyi
“ketentuan pidana dalam perUUan Indonesia berlaku bagi setiap pejabat Indonesia
yg diluar Indonesia melakukan salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksudkan
dalam bab XXVIII buku kedua.
·
Pasal 7 ini menerangkan khusus warga
negara sebagai pejabat Indonesia (PNS) yang melakukan perbuatan yg diancam
salah satu bab XXVIII. Artinya pasal ini tidak berlaku warga negara yg bukan
pejabat.
·
Selanjutnya dalam pasal 8 KUHP berbunyi
“ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi nakhoda dan
penumpang kenderaan air Indonesia, yang diluar Indonesia, sekalipun diluar
kenderaan air, melakukan salah satu tindak pidana sbgmana dimaksudkan dlm bab
XXIX buku kedua, dan bab IX buku ketiga, begitu pula yg tersebut dlm peraturan
mengenai surat laut dan pas kapal Indonesia maupunn dalam ordonannsi perkapalan
(schepnordonantie, 1927).
·
Bab XXIX buku kedua membahas tentang
kejahatan-kejahatan pelayaran (Pasal 438-479) sedangkan bab IX buku ketiga ttg
pelanggaran mengenai pelayaran (pasal 560-569)
Asas Perlindungan atau Asas nasional Pasif
·
Adalah suatu asas yang memberlakukan KUHP
terhadap siapapun juga baik WNI maupun WNA yang melakukan perbuatan pidana di
luar wilayah Indonesia. Jadi yang diutamakan adalah keselamatan kepentingan
suatu negara.
·
Asas ini bertumpu pada kepentingan bangsa
dan negara bukan kepentingan pribadi/individu diatur dalam pasal 4 KUHP
·
Pasal 4 berbunyi “ketentuan pidana dalam
peraturan perundang-undangan Indonesia diterapkan terhadap setiap orang yang
melakukan di luar Indonesia yaitu salah satu kejahatan berdasarkan pasal 104,
106, 107, 108, 110 bis ke 1, 127 dan 131.
·
Juga kejahatan mata uang kertas, materai,
merek yang dikeluarkan pemerintah Indonesia, dll
Asas Universaliteit :
·
Asas ini berlaku untuk kepentingan
penduduk dunia atau bangsa dunia. Jadi bukan sekedar kepentingan bangsa
Indonesia
·
Diatur dalam pasal 4 ayat 2,3,4 KUHP,
misalnya pasal 4 ayat 4 berkaiatan dengaan pembajakan di laut bebas (446) dan
pembajakan udara (479) dan penerbangan sipil, pemalsuan uang negara lain yang
bukan uang negara Indonesia
·
Asas universaliteit adalah suatu asas yang
memberlakukan KUHP terhadap perbuatan pidana yang terjadi di luar wilayah
Indonesia yang bertujuan untuk merugikan kepentingan internasional. Peristiwa
pidana yang terjadi dapat berada di daerah yang tidak termasuk kedaulatan
negara manapun. Jadi yang diutamakan oleh asas tersebut adalah keselamatan
internasional.
BAB III
JENIS-JENIS PIDANA
·
Menurut Pasal 10 KUHP ada 2 jenis pidana
yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. Adapun pidana pokok sebagai berikut :
1.
Pidana mati
2.
Pidana penjara
3.
Pidana kurungan
4.
Pidana denda
·
Sedangkan pidana tambahan adalah
1.
Pidana pencabutan hak-hak tertentu
2.
Pidana perampasan barang-barang tertentu
3.
Pidana pengumuman putusan hakim
·
Selanjutnya ada juga pidana pokok menurut
UU No. 20 tahun 1946 yaitu berupa pidana tutupan.
·
Antara pidana pokok dan tambahan mempunyai
perbedaan yaitu :
1.
Penjatuhan salah satu pidana pokok
bersifat keharusan (imperatif), sedangkan penjatuhan pidana tambahan sifatnya
fakultatif
Penjelasan :
Apabila
dalam persidangan tindak pidana yg didakwakan oleh jaksa penuntut umum menurut
hakim telah terbukti secara sah dan meyakinkan hakim harus menjatuhkan satu
jenis pidana pokok sesuai dengan jenis dan batas maksimum khusus yg
diancamkan pada tindak pidana yg bersangkutan.
Menjatuhkan
salah satu jenis pidana pokok sesuai dengan yang diancamkan pada tindak pidana
yang dianggap terbukti adalah suatu keharusan artinya imperatif.
2.
Penjatuhan jenis pidana pokok tidak harus bersamaan dengan menjatuhkan pidana
tambahan (berdiri sendiri), sedangkan menjatuhkan pidana tambahan tidak
diperbolehkan tanpa dengan menjatuhkan pidana pokok.
Penjelasan :
Sesuai
dengan namanya pidana tambahan, penjatuhan pidana tambahan tidak dapat berdiri
sendiri, lepas dari pidana pokok melainkan hanya dapat dijatuhkan oleh hakim
apabila dalam suatu putusannya itu telah menjatuhkan salah satu jenis pidana
pokok sesuai dengan yg diancamkan pada tindak pidana yang bersangkutan. Artinya
jenis pidana tambahan tidak dapat dijatuhkan sendiri secara terpisah dengan
jenis pidana pokok, melainkan bersama dengan jenis pidana pokok.
Dalam
hal ini telah jelas bahwa pidana tambahan tidak dapat dijatuhkan kecuali
setelah adanya penjatuhan pidana pokok, artinya pidana pokok dapat berdiri
sendiri sedangkan pidana tambahan tidak dapat berdiri sendiri.
Walaupun
jenis pidana tambahan mempunyai sifat yg demikian, ada juga pengecualiannya,
yakni dimana jenis pidana tambahan itu dapat dijatuhkan tidak bersama jenis
pidana pokok tetapi bersama tindakan (maatregelen) seperti pasal 39 ayat
3 dan 40.
3.
Jenis pidana pokok yag dijatuhkan bila telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in
kracht van gewijsde zaak) diperlukan suatu tindakan pelaksanaan (executie)
Penjelasannya :
Pengecualiaannya
adalah apabila pidana yg dijatuhkan itu adalah jenis pidana pokok dengan
bersyarat (Pasal 14a) dan syarat yang ditetapkan dalam putusan itu tidak
dilanggar. Hal ini berbeda dengan sebagian jenis pidana tambahan misalnya
pidana pencabutan hak-hak2 tertentu sudah berlaku sejak putusan hakim telah
mempunyai kekuatan hukum tetap (pasal 38 ayat 2). Ole karena itu,
berjalannya/dijalankannya putusan antara jenis pidana pokok dengan pidana
pencabutan hak tertentu berdasarkan pasal 38 ayat 2 tidak sama.
·
Selain itu juga ada prinsip dasar pidana
pokok yaitu tidak dapat dijatuhkan secara kumulasi (menjatuhkan 2 pidana pokok
secara bersamaan).
·
Hal ini dapat dilihat sbgmana tercantum
dalam buku II (kejahatan) dan buku III (pelanggaran) dimana dijelaskan bahwa :
1.
Dalam rumusan tindak pidana hanya diancam
dengan satu jenis pidana pokok saja.
2.
Dalam beberapa rumusan tindak pidana yg
diancam dgn lebih dari satu jenis pidana pokok ditetapkan sbg bersifat
alternatif (misal pasal 340, 362 dll) dengan menggunakan kata atau.
·
Prinsip dasar jenis pidana pokok ini hanya
berlaku pada tindak pidana umum (KUHP). Bagi tindak pidana khusus (diluar
KUHP), prinsip dasar ini ada penyimpangan seperti UU No 7 (drt) 1955 (UU tindak
pidana ekonomi), UU No. 31 tahun 1999 (UU tindak pidana korupsi), UU Narkotika
(UU No. 22 tahun 1997), UU Perbankan (UU No. 10 tahun 1998), dll
1.
Pidana mati (Pasal 11 KUHP)
·
Di Belanda sejak tahun 1870 pidana mati
tidak diberlakukan lagi.
·
Di Indonesia sejak tahun 1918 masi
diberlakukan pidana mati.
·
RUU KUHP 1992 dan 1999/2000 revisi masih
dicantumkan tapi bukan dalam pidana pokok, hanya dikategorikan pidana yang
bersifat khusus dan selalu bersifat altertnatif.
·
Di Belanda sejak tahun 1870 pidana mati
tidak diberlakukan lagi.
·
Di Indonesia sejak tahun 1918 sampai
sekarang masih diberlakukan pidana mati.
·
Penjatuhan pidana mati dalam KUHP hanya
diatur dalam bentuk kejahatan berat saja, misalnya :
1.
Kejahatan-kejahatan yang mengancam
keamanan negara (Pasal 104, 111 ayat 2, 124 ayat 3 jo 129)
2.
Kejahatan-kejahatan pembunuhan terhadap
orang tertentu dan atau dilakukan dengan faktor-faktor pemberat, misalnya
140 ayat 3, 340 KUHP
3.
Kejahatan terhadap harta benda yg disertai
unsur/faktor yg sangat memberatkan (365 ayat 4, 368 ayat 2)
4.
Kejahatan-kejahatan pembajakan laut,
sungai dan pantai (Pasal 444)
·
Adanya pidana mati oleh pembentuk KUHP
dalam penerapan harus hati-hati, tidak boleh gegabah karena pidana mati
berkaitan dengan hilangnya nyawa manusia.
·
Untuk itu dalam KUHP pasal pidana mati
selalu dibuat alternatif dengan penjara seumur hidup, pidana 20 tahun, misalnya
pasal 365 (4), 340, 104, 368 (2) jo 365 (4), dll sedangkan diluar KUHP pidana
mati diatur dalam UU 26 tahun 1999 (subversi), UU 22 tahun 1997 (Narkotika, 80,
81, 82), Pasal 59 UU No 5 tahun 1997 (Psikotropika).
·
Eksekusi pidana mati dulu dengan cara
digantung (Pasal 11 KUP) telah dihapuskan diganti dengan cara ditembak oleh
regu penembak sampai mati (UU No. 2 (PNPS) tahun 1964.
1.
Pidana penjara (Pasal 12 – 17 KUHP)
·
Berdasarkan pasal 10 KUHP ada 2 jenis
pidana hilang kemerdekaan bergerak yakni pidana penjara dan kurungan.
·
Dari sifatnya menghilangkan dan atau
membatasi kemerdekaan bergerak, dalam arti menempatkan terpidana dalam suatu
tempat (Lembaga Permasyarakatan) dimana terpidana tidak bebas untuk keluar
masuk dan didalamnya wajib untuk tunduk, mentaati dan menjalankan semaua
peraturan tata tertib yang berlaku.
·
Selintas antara pidana penjara dan
kurungan sama namun ada perbedaan yang cukup jauh
·
Perbedaan yang paling menonjol adalah
pidana kurungan lebih ringan dari pidana penjara. Lebih ringannya sebagai
berikut :
1.
Ancaman pidana kurungan hanya terhadap
tindak pidana yg ringan sedangkan ancaman pidana penjara terhadap tindak pidana
yg lebih berat. Pidana kurungan hanya terhadap tindak pidana pelanggaran
sedangkan pidana penjara terhadap tindak pidana kejahatan.
2.
Ancamam maksimum pidana penjara 15 tahun
sedangkan pidana kurungan 1 tahun kecuali residivis ditambah tidak lebih dari 4
bulan lagi. Pidana penjara bisa ditambah menjadi 20 tahun apabila perbuatan
tersebut memberatkan (pembarengan pasal 65) dan residivis.
3.
Pidana penjara lebih berat daripada pidana
kurungan (Pasal 69 KUHP).
4.
Pelaksanaan pidana denda tidak dapat
diganti dengan pelaksanaan pidana penjara. Akan tetapi pelaksanaan pidana denda
dapat diganti dengan pelaksanaan kurungan disebut kurungan pengganti (Pasal 30
ayat 2).
5.
Pelaksanaan pidana penjara dapat saja
dilakukan di Lembaga permasyarakatan di seluruh Indonesia (dapat dipindahkan),
sedangkan pidana kurungan dilaksanakan hanya di LAPAS dimana vonis hakim
dibacakan/berdasarkan tempat kediaman terdakwa (tidak dapat dipindah), atau
apabila ia tidak mempunyai tempat kediaman, pidana kurungan dilaksanakan dimana
tempat ia ada pada waktu itu, kecuali ia memohon untuk menjalani pidana
ditempat lain dan menteri kehakiman mengijinkannya. (Pasal 21 KUHP)
6.
Pekerjaan-pekerjaan yang diwajibkan pada
narapidapidana penjara lebih berat dari pekerjaan2 yang diwajibkan pada
narapidana kurungan (Pasal 19 KUHP)
7.
Narapidana kurungan dengan biaya sendiri
dapat sekedar meringankan nasibnya dalam menjalankan pidananya menurut aturan
yang ditetapkan (hak pistole, pasal 23 KUHP)
Pidana
penjara ada bersifat seumur hidup dan pidana penjara sementara.
Pidana
seumur hidup adalah pidana yang harus dijalani terpidana selama-lamanya didalam
penjara sampai dengan ia meninggal dunia di penjara tersebut.
Sedangkan
pidana sementara adalah pidana yang dijalani terpidana paling sedikit 1 hari
dan paling lama 15 tahun atau 20 tahun jika perbuatan pidana yang dilakukan
dengan pemberatan.
1.
Pidana kurungan (18 – 29 KUHP)
·
Pidana kurungan ada suatu pidana yang
dijatuhkan oleh hakim kepada terdakwa karena telah melakukan tindak pidana
pelanggaran
·
Pidana kurungan dijatuhkan
serendah-rendahnya 1 hari dan paling lama 1 tahun dan dapat ditambah lagi
4 bulan apabila terdakwa seorang residivis.
·
Menurut Pasal 23 KUHP “Orang yg dipidana
kurungan boleh memperbaiki nasibnya dengan ongkosnya sendiri menurut peraturan
yg akan ditetapkan dalam ordonansinya (LN 1917 No. 708 = peraturan kepenjaraan,
khususnya psl 93)
·
Perbaikan nasib dengan ongkos sendiri ini
biasa dinamakan hak pistole. Perbaikan tsb misalnya mengenai makanan dan tempat
tidurnya. Candu, minuman keras, anggur dan bir hanya dapat diberikan bila
dianggap perlu oleh dokter penjara.
D.
Pidana denda
·
Penerapan pidana denda paling sedikit 25
sen (Pasal 30 ayat 1 KUHP) sedangkan maksimum tergantung pada rumusan pidana,
misalnya pasal 403 maksimum Rp. 150.000
·
Apabila tidak dibayar dendanya diganti
dengan hukuman kurungan (ayat 2)
·
Lamanya hukuman kurungan pengganti paling
sedikit 1 hari paling lama 6 bulan. Dalam keadaan memberatkan dapat ditambah
paling tinggi 8 bulan (Pasal 30 ayat 5, 6 KUHP)
·
Pidana denda diterapkan pada pelanggaran
sedangkan pada kejahatan dijadikan alternatif (misalnya kata-kata ’atau’)
Keistimewaan
pidana denda :
1.
Pidana denda dapat dibayarkan oleh orang
lain, sedangkan pidana lainnya (misalnya penjara) tidak.
2.
Pelaksanaan pidana denda dapat diganti
dengan pidana kurungan (Pasal 30 ayat 2 KUHP), maka sering dalam putusan hakim
membuat pidana alternatif selain kurungan juga ada pidana kurungan pengganti.
Dalam hal ini terpidana bebas memilihnya dan lamanya pidana kurungan pengganti
adalah minimal 1 hari maksimal 6 bulan.
3.
Penerapan pidana denda paling sedikit 25
sen (Pasal 30 ayat 1 KUHP) sedangkan maksimum tergantung pada rumusan pidana,
misalnya pasal 403 maksimum Rp. 150.00,-
Mengapa
terhadap pidana denda perlu adanya jaminan penggantinya ?
·
Karena dalam pelaksanaan pidana denda
tidak dapat dijalankan denagan paksaan secara langsung seperti penyitaan atas
barang-barang terpidana. Ini berbeda dengan perkara perdata yg dilakukan
pelelangan setelah disita pengadilan.
Kapan
denda harus dibayar ?
·
Yaitu jika divonis pidana denda, maka
paling alama 1 bulan terpida harus mebayar denda tsb kecuali acara cepat harus
seketika dilunasi (misalnya perkara lalu-lintas). Sementara dapat diperpanjang
lagi 1 bualn apabila ada alasan kuat (Pasal 273 ayat 1 dan 2 KUHP).
·
Pidana denda dibayarkan menjadi kas
negara. Untuk itu setelah kejaksaan menerima harus segera di setor ke kas
negara.
·
E. Pidana Tutupan
·
Diatur dalam Pasal 2 ayat 1 UU No. 20
tahun 1946 yang menyatakan bahwa dalam mengadili orang yang melakukan
kejahatan, yang diancam dengan pidana penjara karena karena terdorong oleh
maksud yang patut dihormati, hakim boleh menjatuhkan pidana tutupan.
·
Selanjutnya pada ayat 1 dinyatakan pidana
tutupan tidak dijatuhkan apabila perbuatan yang merupakan kejahatan itu cara
melakukan perbuatan itu aatau akibat dari perbuatan itu adalah sedemikian rupa
sehingga hakim berpendapat bahwa pidana penjara lebih tepat.
·
Tempat untuk menjalani pidana tutupan
adalah rumah tutupan (PP No. 8 tahun 1948).
·
Rumah tutupan lebih baik dengan rumah
tahanan dari segi fasilitasnya, misalnya maalah makanan.
·
Pidana tutupan sama juga dengan pidana
penjara hanya beda dari fasilitasnya.
·
Jadi orang yang menjalani pidana tutupan
adalah perbuatan pidana yang terdorong oleh maksud yang patut dihormati,
kriterianya diserahkan kepada hakim.
·
Dalam praktek pidana tutupan hanya terjadi
1 kali saja yaitu putusan Mahkamah Agung Tentara RI tanggal 17 Mei 1948 yaitu
perkaa kejahatan peristiwa 3 Juli 1946.
F.
Pidana Pencabutan Hak-Hak Tertentu
·
Pasal 35 ayat 1 KUHP mengatur tentang
pidana pencabutan hak-hak tertentu :
1.
Hak memegang jabatan pada umumnya atau
jabatan tertentu (jabatan publik, seperti Bupati, dll).
2.
Hak menjalankan jabatan dalam Angkatan
bersenjata / TNI
3.
Hak memilih dan dipilih yg diadakan
berdasarkan aturan2 umum
4.
Hak menjadi penasihat hukum atau pengurus
atas penetapan pengadilan, hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau
pengampu pengawas atas anak yang bukan anak sendiri
5.
Hak menjalankan kekuasaan bapak,
menjalankan perwalian atau pengampuan atas anak sendiri.
6.
Hak menjalankan mata pencaharian
·
Pasal tindak pidana yg mengaturnya adalah
pasal 317, 318, 334, 347, 348, 350, 362, 363, 365, 372, 374, 375.
·
Sifat hak-hak tertentu yang dapat dicabut
oleh hakim, tidak untuk selama-lamanya melainkan dalam waktu tertentu saja,
kecuali yang bersangkutan dijatuhi pidana seumur hidup atau pidana mati.
Lama
waktu hakim menjatuhkan pencabutan hak-hak tertentu (Pasal 38 KUHP) :
1.
Bila pidana pokok yg dijatuhkan hakim
berupa pidana mati atau seumur hidup maka lamanya pencabutan hak2 tertentu
berlaku seumur hidup
2.
Bila pidana pokok yg dijatuhkan hakim
berupa pidana penjara sementara atau kurungan, maka lamanya pencabutan hak2
tertentu paling lama 5 tahun dan minimun 2 tahun lebih lama daripada pidana
pokoknya
3.
Jika pidana pokok yg dijatuhkan adalah
pidana denda maka pencabutan hak2 tertentu adalah paling sedikit 2 tahun dan
paling lama 5 tahun.
G.
Perampasan Barang-Barang Tertentu
·
Perampasan barang sebagai suatu pidana
hanya diperkenankan atas barang-barang tertentu saja, tidak diperkenankan untuk
semua barang. UU tidak mengenal perampasan untuk semua kekayaan seperti dalam
kasus perdata.
·
Pasal 39 KUHP berbunyi , “Barang kepunyaan
terhukum yang diperoleh dengan kejahatan atau dengan sengaja dipakai akan
melakukan kejahatan akan dirampas ”, misalnya uang palsu diperoleh dengan
kejhatan, golok, senjata api, dll. Jika bukan milik terhukum tidak boleh
dirampas.
·
Ada 2 jenis barang yang dapat dirampas
melalui putusan hakim pidana yaitu :
1.
Barang-barang yang berasal/diperoleh dari suatu kejahatan (bukan dari
pelanggaran) yang disebut dengan Corpora
Delictie misalnya
uang palsu dari kejahatan pemalsuan uang.
2.
Barang-barang yang digunakan dalam melakukan kejahatan yang disebut denganinstrumenta
delictie misalnya pisau yang digunakan dalam
kejahatan
·
Ada tiga prinsip dasar dari pidana
perampasan barang tertentu yaitu :
1.
Hanya diancamkan dan dapat dijatuhkan
terhadap 2 jenis barang tersebut dalam Pasal 39 itu saja.
2.
Hanya diancamkan dan dapat dijatuhkan oleh
hakim pada kejahatan saja, dan tidak pada pelanggaran, kecuali pada beberapa
tindak pidana pelanggaran, misalnya Pasal 502, 519, 549 (jenis pelanggaran)
3.
Hanya diancamkan dan dapat dijatuhkan oleh
hakim atas barang-barang milik terpidana tadi. Kecuali ada beberapa ketentuan
a)
Yang menyatakan secara tegas terhadap barang yang bukan milik terpidana (Pasal
250 bis),
b)
Tidak secara tegas menyebutkan terhadap, baik barang milik terpidanaatau bukan
(misalnya pasal 275, 205, 519)
H.
Pengumuman Putusan Hakim
·
Pidana pengumuman putusan hakim hanaya
dapat dijatuhkan dalam hal-hal yang telah ditentukan oleh UU, misalnya terdapat
dalam Pasal 128, 206, 361, 377, 395, 405.
·
Dalam pidana ini hakim bebas perihal cara
melaksanakan pengumuman, misalnya melalui surat kabar, papan pengumuman, radio,
televisi dan pembebanan biayanya ditanggung terpidana.
·
Pasal 43 KUHP, “Dalam hal-hal yang hakim
memerintahkan mengumumkan keputusannya menurut kitab UU umum yg lain,
ditentukjannya pula cara bagaimana menjalankan perintah itu atas ongkos
siterhukum”, misalnya melalui surat kabar dengan ongkos terhukum.
·
Maksud pidana ini adalah sebagai usaha
preventif agar tidak melakukan perbuatan seperti orang tersebut dan agar
berhati-hati bergaul dengan orang tersebut (terhukum).
I.
Penjatuhan Pidana Bersyarat (voorwaardelijke veroordeling)
·
Istilah penjatuhan pidana besyarat
bukanlah jenis pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 10 KUHP, karena istilah
ini diatur dalam pasal 14a KUHP. Lebih tepat istilah ini adalah pidana dengan
bersyarat.
·
Pidana dengan bersyarat dalam praktek
hukum sering disebut dengan pidana percobaan.
·
Pidana percobaan/bersyarat adalah suatu
sistem/model penjatuhan pidana oleh hakim yang pelaksanaannya digantungkan pada
syarat-syarat tertentu.
·
Artinya pidana yang dijatuhkan oleh hakim
itu ditetapkan tidak perlu dijalankan pada terpidana selama syarat-syarat yang
ditentukan tidak dilanggarnya dan pidana dapat dijalankan apabila syarat-syarat
yang ditetapkan itu tidak ditaatinya atau dilanggar. Misalnya jika terpidana
tersebut yang diminta hakim tidak boleh melakukan perbuatan perbuatan pidana
maka selama masa poercobaan tersebut terpidana tidak boleh melakukan perbuatan
pidana dalam bentuk apapun. Jika terbukti melakukan perbuatan pidana lagi maka
hukumannya bisa ditambah karena terdakwa seorang residivis.
·
Mamfaat penjatuhan pidana dengan bersyarat
adalah memperbaiki penjahat tanpa harus memasukkannya ke dalam penjara artinya
tanpa membuat derita bagi dirinya dan keluarganya, mengingat pergaulan dalam
penjara terbukti sering membawa pengaruh buruk bagi seorang terpidana terutama
bagi orang-orang yang melakukan tindak pidana karena dorongan faktor tertentu
yang ia tidak mempunyai kemampuan untuk menguasai dirinya dalam arti
bukanpenjahat sesungguhnya. Misalnya karena kemelaratan dan untuk makan ia
mencuri sebungkus roti, karena butuh uang untuk mengobati orang tuanya yang
luka karena kecelakaan, kejahatan culpa (kelalaian), dll
Dalam
pasal 14a KUHP ditentukan bahwa hakim dapat menetapkan pidana dengan bersyarat
dalam putusan pemidanaan apabila :
·
Hakim menjatuhkan pidana penjara paling
lama satu tahun
·
Hakim menjatuhkan pidana kurungan (bukan
kurungan pengganti denda maupun kurungan pengganti perampasan barang)
·
Hakim menjatuhkan pidana denda, dengan
ketentuan yaitu : a). Apabila benar-benar ternyata pembayaran denda atau
perampasan barang yang ditetapkan dalam keputusan itu menimbulkan keberatan
yang sangat bagi terpidana, dan b). Apabila pelaku tindak pidana yang dijatuhi
denda bersyarat itu bukan berupa pelanggaran yang berhubungan dengan pendapatan
negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar