Menjawab
persoalan tersebut maka hukum pidana membagi ajaran sifat melawan hukum dalam
dua sudut pandang yaitu :
1. menurut ajaran sifat melawan hukum yang
formil
suatu
perbuatan itu bersifat melawan hukum, apabila perbuatan diancam pidana dan
dirumuskan sebagai suatu delik dalam undang-undang; sedang sifat melawan
hukumnya perbuatan itu dapat hapus, hanya berdasarkan suatu ketentuan
undang-undang. Jadi menurut ajaran ini melawan hukum sama dengan melawan atau
bertentangan dengan undang-undang (hukum tertulis).
Menurut
Simons, “Memang boleh diakui, bahwa suatu perbuatan, yang masuk larangan dalam
sesuatu undang-undang itu tidaklah mutlak bersifat melawan hukum, akan tetapi
tidak adanya sifat melawan hukum itu hanyalah bisa diterima, jika di dalam
hukum positif terdapat alasan untuk suatu pengecualian berlakunya ketentuan /
larangan itu. Alasan untuk menghapuskan sifat melawan hukum tidak boleh diambil
di luar hukum positif dan juga alasan yang disebut dalam undang-undang tidak
boleh diartikan lain daripada secara limitatief.
Suatu
perbuatan itu melawan hukum atau tidak, tidak hanya yang terdapat dalam
undang-undang (yang tertulis) saja, akan tetapis harus dilihat berlakunya
azas-azas hukum yang tidak tertulis. Sifat melawan hukumnya perbuatan yang
nyata-nyata masuk dalam rumusan delik itu dapat hapus berdasarkan ketentuan
undang-undang dan juga berdasarkan aturan-aturan yang tidak tertulis (uber
gezetzlich).
Jadi
menurut ajaran ini melawan hukum sama dengan bertentangan dengan undang-undang
(hukum tertulis) dan juga bertentangan dengan hukum yang tidak tertulis
termasuk tata susila dan sebagainya sebagaimana para sarjana yang menganut
ajaran sifat melawan hukum yang meteriil ialah :
a) Von Liszt : perkosaan atau pembahayaan
terhadap kepentingan hukum hanyalah bersifat melawan hukum materiil (materiel
rechts widrig), jika perbuatan itu bertentangan dengan tujuan ketertiban hukum
(den Zwecken der das Zusammenleben regelnden Recht sordnung widerspricht);
kalau tidak bertentangan dengan tujuan itu, maka tidak bersifat melawan hukum.
b) Zu Dohna mengatakan :
Suatu perbuatan itu tidak melawan hukum jika perbuatan itu merupakan
upaya yang haq untuk tujuan yang haq (richtiges Mittel zum techten zwecke).
Contohnya ialah seorang yang memukulpemuda yang memperkosa anak perempuannya.
Di sini menurut Zu Dohna perbuatan ayahnya tidak bersifat melawan hukum.
c) M.E. Mayer mengatakan :
Perbuatan itu melawan hukum materiil atau tidak, ditentukan oleh norma
kebudayaan (kulturnorm). Sifat melawan hukum itu, berarti bertentangan dengan
kulturnorm yang diakui oleh negara. Kalau perbuatan itu sesuai dengan
kulturnorm itu maka sifat melawan hukumnya hapus.
d) Zevenbergen
Onrechtmatigheid adalah syarat yang umum, obyektif yang berdiri sendiri,
yang biasanya ada jika suatu perbuatan memenuhi rumusan delik dalam
undang-undang, tetapi mengenai hal itu harus diselidiki untuk tiap-tiap
kejadian yang kongkrit, apakah yang diharapkan oleh ketertiban hukum. Dalam hal
ada keraguan mengenai sifat melawan hukum maka tidak boleh ada penjatuhan
pidana.
e) Van Hattum
Dengan adanya keputusan Hoge Raad tentang dokter hewan Huizen itu, ia
katakan : dengan itu menurut hemat saya (mer van Hattum) telah diterima ajaran
sifat melawan hukum yang materiil oleh Hoge Raad dan telah dipecahkan persoalan
mer azas-azas yang boleh dikatakan benar dalam ajaran “penentuan hukum” dewasa
ini (in de hedendaagse leer Her rechtsvir onbetwist).
Persaksian terhadap sifat melawan hukum yang materiil itu harus
dilakukan secara hati-hati, dan istimewa hakim harus membuka diri pada
peristiwa-peristiwa yang kongkrit. Misal abortus protus (ps. 348 KUHP) bisa
tidak melanggar hukum berdasarkan petunjuk eugenetisch atau sosial. (Eugenetiek
adalah ajaran yang mempelajari perbaikan ras / keturunan).
Kesimpulan
mengenai persoalan melawan hukumnya perbuatan, bila suatu perbuatan itu
memenuhi rumusan delik, maka itu menjadikan tanda / indikasi bahwa perbuatan
itu bersifat melawan hukum. Akan tetapi sifat itu hapus apabila diterobos
dengan adanya alat pembenar (rechtvaardigingsgrond). Bagi mereka yang menganut
ajaran sifat melawan hukum yang formil alasan pembenar itu hanya boleh diambil
dan hukum yang tertulis, sedang penganut ajaran sifat melawan hukum yang
materiil alasan itu boleh diambil dan luar hukum yang tertulis.
Berkaitan
dengan hukum tertulis maka hakim dalam perkara kongkrit yang sedang dihadapi
harus mempertimbangkan :
a). Apabila ada persoalan mengenai hukum yang
tidak tertulis yang bertentangan dengan hukum yang tertulis, maka perlu
dipertimbangkan betul-betul sampai dimanakah hukum tak tertulis itu dapat menyisihkan
peraturan yang tertulis, yang dibuat dengan sah. Benarkah yang dipandang adil
oleh suatu golongan dalam masyarakat biasa, juga dipandang adil / benar oleh
seluruh masyarakat pada umumnya.
b). Apabila ada persoalan mengenai hukum yang
tidak tertulis yang bertentangan dengan hukum yang tertulis, maka perlu
dipertimbangkan betul-betul sampai dimanakah hukum tak tertulis itu dapat
menghapuskan kekuatan berlakunya peraturan yang tertulis dsb.
c). Sampai dimanakah rasa keadilan dan keyakinan
masyarakat dapat menyisihkan peraturan yang tertulis, yang dibuat dengan sah.
Ini
adalah beban yang berat bagi hakim, sebab tiap-tiap keputusan harus memuat
alasan yang mendasari keputusan itu. Maka hakim harus benar-benar mengetahui
bagaimanakah keadaan masyarakat lebih-lebih keadaan masyarakat Indonesia yang
dinamis yang bergerak menuju suatu masyarakat yang dicita-citakan, ialah
masyarakat Pancasila mata, pikiran dan perasaan hakim harus tajam untuk dapat
menangkap apa yang sedang terjadi dalam
masyarakat, agar supaya putusannya tidak kedengaran sumbang. Hakim dengan
seluruh kepribadiannya harus bertanggung jawab atas kebenaran keputusannya,
baik secara formil maupun secara materiil.
Mengenai
pengertian melawan hukum yang materiil itu perlu dibedakan :
- dalam fungsinya yang negatif
Ajaran
sifat melawan hukum yang materiil dalam fungsinya yang negatif mengakui
kemungkinan adanya hal-hal yang ada di luar undang-undang melawan hukumnya
perbuatan yang memenuhi rumusan undang-undang, jadi hal tersebut sebagai alasan
penghapus sifat melawan hukum.
- dalam fungsinya yang positif
Pengertian
sifat melawan hukum yang materiil dalam fungsinya yang positif menganggap
sesuatu perbuatan tetap sebagai sesuatu delik, meskipun tidak nyata diancam
dengan pidana dalam undang-undang, apabila bertentangan dengan hukum atau
ukuran-ukuran lain yang ada di luar undang-undang. Jadi disini diakui hukum
yang tak tertulis sebagai sumber hukum yang positif.
Kalau
Seminar Hukum Nasional tersebut di atas menganut ajaran sifat melawan hukum
yang materiil tentunya hal tersebut dalam fungsinya yang negatif. Ini adalah
konsekwensi dari diterimanya azas legalitas untuk KUHP. Nasional nanti dan
masih berlakunya KUHP yang sekarang ini dimana juga masih tercantum azas
seperti tersebut dalam pasal 1. Suatu negara yang mengakui azas nullum delictum
dalam arti yang sebenarnya tidak mungkin menganut ajaran sifat melawan hukum
yang materiil dalam fungsinya yang positif. Misal A membunuh B dengan alasan
bahwa B telah membunuh C kakak dari A. Memang di daerah yang bersangkutan ada
anggapan bahwa hutang nyawa harus disaur dengan nyawa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar