Selasa, 02 April 2013

SIFAT MELAWAN HUKUM (Rechtswdrig, Unrecht, Wederrechtelijk, Onrechmatig)


A.   Istilah dan Pengertian
KUHP memakai istilah bermacam-macam :
a.    tegas dipakai istilah “melawan hukum”, (wederrechtelijk) dalam pasal 167, 168, 335 (1), 522;
b.    dengan istilah lain misalnya : “tanpa mempunyai hak untuk itu” (pasal 303, 548, 549); “tanpa izin” (zonder verlof) (pasal 496, 510); “dengan melampaui kewenangannya” (pasal 430); “tanpa mengindahkan cara-cara yang ditentukan oleh peraturan umum” (pasal 429).


Alasan pembentuk undang-undang itu mencantumkan unsur sifat melawan hukum itu tegas-tegas dalam sesuatu rumusan delik karena pembentuk undang-undang khawatir apalagi unsur melawan hukum itu tak dicantumkan dengan tegas, yang berhak atau berwenang untuk melakukan perbuatan-perbuatan sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang itu, mungkin dipidana pula.
Arti istilah bersifat melawan hukum itu terdapat tiga pendirian:
  1. bertentangan dengan hukum (Simons)
  2. bertentangan dengan hak (subyektief recht) orang lain (Noyon)
  3. tanpa kewenangan atau tanpa hak, hal ini tidak perlu bertentangan dengan hukum (H.R).
Salah satu unsur dari tindak pidana adalah unsur sifat melawan hukum. Unsur ini merupakan suatu penilaian obyektif terhadap perbuatan, dan bukan terhadap si Pembuat. Bilamana sesuatu perbuatan itu dikatakan melawan hukum ? Orang akan menjawab : “apabila perbuatan itu masuk dalam rumusan delik sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang”. Dalam bahasa Jerman ini disebut “tatbestandsmaszig”. Tasbestand disini dalam arti sempit, ialah unsur seluruhnya dari delik sebagaimana dirumuskan dalam peraturan pidana. Tasbestand dalam arti sempit ini terdiri atas tasbestand mer male, ialah masing-masing unsur dari rumusan delik.

Pengecualian atas tasbestand mer male, dapat dikecualikan atas perbuatan yang memenuhi rumusan delik (tatbestandsmaszig) itu tidak senantiasa bersifat melawan hukum, sebab mungkin ada hal yang menghilangkan sifat melawan hukumnya perbuatan tersebut. Misalnya dalam melaksanakan perintah undang-undang (ps. 50 KUHP) :
1)    regu penembak, yang menembak mati seorang terhukum yang telah dijatuhi hukuman pidana mati, memenuhi unsur-unsur delik tersebut pasal 338 KUHP. Perbuatan mereka tidak melawan hukum.
2)    Jaksa menahan orang yang sangat  dicurigai telah melakukan kejahatan. Ia tidak dapat dikatakan melakukan kejahatan tersebut pasal 333 KUHP, karena ia melaksanakan undang-undang (terdapat dalam peraturan hukum acara pidana) sehingga tidak ada unsur melawan hukum.

Di dalam kedua contoh tersebut hal yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan terdapat di dalam undang-undang. Namun dalam kasus :
-       seorang ayah memukul seorang pemuda yang memperkosa anak-anaknya
-   seorang menembak mati temannya atas permintaan sendiri, karena ia luka-luka berat dan tidak mungkin hidup terus, apalagi jauh dari dokter, karena dalam ekspedisi di Kutub Selatan
-  seorang bioloog membedah binatang-binatang (vivisectie) untuk penyelidikan ilmiah.

Maka timbul persoalan ada tidaknya sifat melawan hukumnya perbuatan. Contoh lain yang mempermasalahkan unsur melawan hukum adalah :
-       Putusan PN Sawahlunto 10 Setember 1936
Seorang perempuan Minangkabau hidup bersama dengan seorang laki-laki dengan siapa ia menurut hukum adat dilarang kawin. Berhubung dengan pelanggaran adat ini, maka Mamak dari perempuan ini bersama-sama dengan orang lain mendatangi orang tersebut untuk dimintai pertanggungjawaban dan untuk membawa laki-laki itu ke Wali Negeri. Oleh karena perempuan itu tidak mau membuka pintu rumahnya pintu didobrak.
Pengadilan Negeri berpendapat perbuatan Mamak cs melanggar pasal KUHP (merusak ketentraman rumah), dan memidana Mamak 3 bulan penjara dan lain-lainnya masing-masing 2 bulan. Alasan 

-       Arrest Hoge Raad 20 Pebruari 1933 
Seorang dokter hewan di kota Huizen dengan sengaja memasukkan sapi-sapi yang sehat ke dalam kandang yang berisi sapi-sapi yang sudah sakit mulut dan kuku, sehingga membahayakan sapi-sapi yang sehat itu. Perbuatan dokter hewan itu tegas-tegas masuk dalam rumusan delik tesebut dalam pasal 82 undang-undang ternak, ialah dengan sengaja menempatkan ternak dalam keadaan yang membahayakan / mengkhawatirkan. Ketika dituntut, dokter hewan mengemukakan pada pokoknya, bahwa perbuatan itu dilakukan untuk kepentingan  peternakan. Putusan Mahkamah Agung   Belanda : Pasal 82 Undang-undang ternak tidak dapat diterapkan kepada dokter hewan itu. Pertimbangannya antara lain : “tidak dapat dikatakan, bahwa seseorang yang melakukan perbuatan yang diancam pidana itu mesti dipidana, apabila undang-undang sendiri tidak dengan tegas-tegas menyebut adanya alasan-alasan penghapus pidana, mungkin sekali dapat terjadi, bahwa unsur sifat melawan hukum tidak dicantumkan di dalam rumusan delik dan meskipun demikian tidak ada pemidanaan, karena dalam hal ini sifat melawan hukumnya perbuatan ternyata tidak ada, sehingga oleh karenanya pasal yang bersangkutan tidak berlaku terhadap perbuatan yang secara letterlijk memenuhi rumusan delik”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar